KHUTBAH IED : SEKALI ATAU DUA KALI?
Khuthbah ‘Ied : Sekali atau Dua Kali ?
Tanya : Berapakah jumlah khuthbah ‘Ied yang sesuai dengan sunnah ?
Jawab : Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama mengatakan khutbah (shalat) ‘Ied adalah dua kali diselingi dengan duduk seperti khuthbah (shalat) Jum’at, dan sebagian yang lain mengatakan sekali.
Dalil paling kuat yang dibawakan oleh pendapat pertama adalah hadits :
Dalil paling kuat yang dibawakan oleh pendapat pertama adalah hadits :
نَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى الصَّنْعَانِيُّ، نَا بِشْرُ بْنُ الْمُفَضَّلِ، ثنا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ الْخُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، وَكَانَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-A’laa Ash-Shan’aaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar) : Bahwasannya Rasulullah ﷺ dulu berkhutbah dengan dua kali khuthbah dalam keadaan berdiri. Beliau memisahkan antara keduanya dengan duduk [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 2/349 no. 1446; shahih].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah meletakkan hadits tersebut dalam bab : Jumlah khuthbah dalam shalat ‘Iedain, dan pemisahan antara dua khuthbah dengan duduk. Ini adalah wahm dari Ibnu Khuzaimah rahimahullah, karena dalam riwayat yang lain, hadits tersebut merupakan hadits tentang shalat Jum’at.
وحَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ، وَأَبُو كَامِلٍ الْجَحْدَرِيُّ، جميعا عَنْ خَالِدٍ، قَالَ أَبُو كَامِلٍ: حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ الْحَارِثِ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ، قَالَ: كَمَا يَفْعَلُونَ الْيَوْمَ "
Dan telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaariiriy dan Abu Kaamil Al-Jahdariy, keduanya dari Khaalid – Abu Kaamil berkata : Telah menceritakan kepada kami Khaalid bin Al-Haarits - : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Dulu Rasulullah ﷺ berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri, kemudian duduk, kemudian berdiri”. Ibnu ‘Umar berkata : “Sebagaimana yang dilakukan pada hari ini” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 861].
Khaalid dalam tashriih penyebutan ‘(hari) Jum’at’ mempunyai mutaba’ah dari Ma’mar bin Raasyid dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Utsmaan Al-Bakraawiy.
Selain itu, beberapa imam yang lain meletakkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut di atas dalam Kitaabul-Jum’ah, seperti Al-Bukhaariy (no. 920), Muslim, At-Tirmidziy (no. 506), An-Nasaa’iy (no. 1416), dan yang lainnya.
Juga hadits :
Selain itu, beberapa imam yang lain meletakkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut di atas dalam Kitaabul-Jum’ah, seperti Al-Bukhaariy (no. 920), Muslim, At-Tirmidziy (no. 506), An-Nasaa’iy (no. 1416), dan yang lainnya.
Juga hadits :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ، حَدَّثَنَا أَبُو بَحْرٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ مُسْلِمٍ الْخَوْلَانِيُّ، حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرٍ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى، فَخَطَبَ قَائِمًا، ثُمَّ قَعَدَ قَعْدَةً، ثُمَّ قَامَ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Hakiim : Telah menceritakan kepada kami Abu Bahr : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Muslim Al-Khaulaaniy : Telah menceritakan kepada kami Abuz-Zubair, dari Jaabir, ia berkata : “Rasulullah ﷺ keluar pada hari raya ‘Iedul-Fithri atau ‘Iedul-Adlha (untuk menunaikan shalat), lalu beliau ﷺ berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk sejenak, dan kemudian berdiri kembali” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1289].
Sayangnya, riwayat ini sangat lemah dikarenakan Ismaa’iil bin Muslim dan Abu Bahr. Dilemahkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Dla’iif Sunan Ibni Maajah 1/95].
Ada beberapa atsar dari sebagian salaf yang menunjukkan khuthbah ‘Ied terdiri dari dua khuthbah, di antaranya :
Ada beberapa atsar dari sebagian salaf yang menunjukkan khuthbah ‘Ied terdiri dari dua khuthbah, di antaranya :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِي، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ، قَالَ: " مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يُكَبِّرَ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى الْعِيدَيْنِ: تِسْعًا قَبْلَ الْخُطْبَةِ، وَسَبْعًا بَعْدَهَا "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Sufyaan, dari Muhammad bin ‘Abdirrahmaan Al-Qaariy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : “Termasuk sunnah adalah imam bertakbir sebanyak sembilan kami di atas mimbar pada waktu ‘Iedain sebelum khuthbah, dan tujuh kali setelahnya (yaitu pada khuthbah kedua)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/190 no. 5916; hasan].
وَقَالَ سَعِيدٌ : حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ ، قَالَ : يُكَبِّرُ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ يَوْمَ الْعِيدِ قَبْلَ أَنْ يَخْطُبَ تِسْعَ تَكْبِيرَاتٍ ، ثُمَّ يَخْطُبُ ، وَفِي الثَّانِيَةِ سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ
Dan telah berkata Sa’iid (bin Manshuur) : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin ‘Abdirrahmaan, dari ayahnya, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah, ia berkata : “Imam bertakbir di atas mimbar pada hari ‘Ied sebelum berkhuthbah sebanyak sembilan kali, kemudian berkhuthbah. Dan dalam khuthbah yang kedua sebanyak tujuh kali takbir” [Dibawakan oleh Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughniy, 2/239; sanadnya shahih].
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah adalah salah seorang 7 fuqahaa terkemuka di Madiinah (al-fuqahaa’ as-sab’ah), generasi tabi’iin pertengahan, dan wafat tahun 90-an H.
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، قَالَ سَمِعْتُ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِي الْعِيدِ تِسْعًا وَسَبْعًا "
Dari Ma’mar, dari Ismaa’iil bin Umayyah, ia (Ma’mar) berkata : Aku pernah mendengarnya (Ismaa’iil) bertakbir (ketika khuthbah) pada hari ‘Ied sembilan kali dan tujuh kali [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5671; shahih].
Ismaa’iil bin Umayyah termasuk ulama dari kalangan shighaarut-taabi’iin yang tsiqah lagi tsabat, dan wafat tahun 144 H.
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أُمَيَّةَ، قَالَ سَمِعْتُ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِي الْعِيدِ تِسْعًا وَسَبْعًا "
Dari Ma’mar, dari Ismaa’iil bin Umayyah, ia (Ma’mar) berkata : Aku pernah mendengarnya (Ismaa’iil) bertakbir (ketika khuthbah) pada hari ‘Ied sembilan kali dan tujuh kali [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5671; shahih].
Ismaa’iil bin Umayyah termasuk ulama dari kalangan shighaarut-taabi’iin yang tsiqah lagi tsabat, dan wafat tahun 144 H.
Inilah madzhab jumhur ulama 4 madzhab dan yang lainnya. Bahkan, sebagian kalangan mengatakan adanya ijmaa’ dua khuthbah dengan diselingi duduk antara keduanya dalam shalat ‘Iedain (misal : Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa, 3/293).
Adapun dalil yang dibawakan oleh sebagian ulama lain yang menyatakan hanya sekali khuthbah (tanpa diselingi duduk) adalah :
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: " تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ "، فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ، فَقَالَتْ: لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: " لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ "، قَالَ: َجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, dari ‘Athaa’, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah ﷺ pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan berpegangan kepada Bilaal. Lalu beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, menganjurkan ketaatan kepada-Nya, lalu beliau memberi nasihat dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau berjalan hingga mendatangi wanita, menyampaikan nasihat kepada mereka dan mengingatkan mereka, lalu bersabda : “Wahai sekalian wanita, hendaklah kalian mengeluarkan shadaqah, karena kalian adalah kayu bakar Jahannam yang paling banyak”. Seorang wanita dari kerumunan para wanita yang kedua pipinya kehitaman, berdiri dan berkata : “Mengapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan mengingkari suami”. Jaabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885].
Adapun dalil yang dibawakan oleh sebagian ulama lain yang menyatakan hanya sekali khuthbah (tanpa diselingi duduk) adalah :
وحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ، فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ، ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ، ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ، فَقَالَ: " تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ "، فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ، فَقَالَتْ: لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟، قَالَ: " لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ "، قَالَ: َجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ، يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah bin Numair : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Abi Sulaimaan, dari ‘Athaa’, dari Jaabir bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah ﷺ pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan berpegangan kepada Bilaal. Lalu beliau memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, menganjurkan ketaatan kepada-Nya, lalu beliau memberi nasihat dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau berjalan hingga mendatangi wanita, menyampaikan nasihat kepada mereka dan mengingatkan mereka, lalu bersabda : “Wahai sekalian wanita, hendaklah kalian mengeluarkan shadaqah, karena kalian adalah kayu bakar Jahannam yang paling banyak”. Seorang wanita dari kerumunan para wanita yang kedua pipinya kehitaman, berdiri dan berkata : “Mengapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab : “Karena kalian banyak mengeluh dan mengingkari suami”. Jaabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka, dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 885].
Dhahir hadits di atas menunjukkan beliau ﷺ hanya berkhutbah sekali tanpa diselingi duduk, dan kemudian pergi ke tempat para wanita (karena mereka tidak mendengar apa yang disampaikan Nabi ﷺ sebelumnya).
Selain itu juga terdapat riwayat:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: مَتَى كَانَ مَنْ مَضَى يَخْرُجُ أَحَدُهُمْ مِنْ بَيْتِهِ يَوْمَ الْفِطْرِ لِلصَّلاةِ؟ فَقَالَ: كَانُوا يَخْرُجُونَ حَتَّى يَمْتَدَّ الضُّحَى فَيُصَلُّونَ، ثُمَّ يَخْطُبُونَ قَلِيلا سُوَيْعَةً، يُقَلِّلُ خُطْبَتَهُمْ؟ قَالَ: لا يَحْبِسُونَ النَّاسَ شَيْئًا، قَالَ: ثُمَّ يَنْزِلُونَ فَيَخْرُجُ النَّاسُ قَالَ: مَا جَلَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِنْبَرٍ حَتَّى مَاتَ، مَا كَانَ يَخْطُبُ إِلا قَائِمًا، فَكَيْفَ يُخْشَى أَنْ يَحْبِسُوا النَّاسَ؟ وَإِنَّمَا كَانُوا يَخْطُبُونَ قِيَامًا لا يَجْلِسُونَ، إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، يَرْتَقِي أَحَدُهُمْ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَيَقُومُ كَمَا هُوَ قَائِمًا لا يَجْلِسُ عَلَى الْمِنْبَرِ، حَتَّى يَرْتَقِيَ عَلَيْهِ، وَلا يَجْلِسُ عَلَيْهِ بَعْدَمَا يَنْزِلُ وَإِنَّمَا خُطْبَتُهُ جَمِيعًا وَهُوَ قَائِمٌ، إِنَّمَا كَانُوا يَتَشَهَّدُونَ مَرَّةً وَاحِدَةً الأُولَى، قَالَ: لَمْ يَكُنْ مِنْبَرٌ، إِلا مِنْبَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَاءَ مُعَاوِيَةُ حِينَ حَجَّ بِالْمِنْبَرِ، فَتَرَكَهُ، قَالَ: فَلا يَزَالُونَ يَخْطُبُونَ عَلَى الْمَنَابِرِ بَعْدُ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : “Kapan orang-orang dulu keluar dari rumahnya pada hari ‘Iedul-Fithri untuk shalat ?”. ‘Athaa’ berkata : “Mereka biasanya keluar hingga nampak waktu Dluhaa, dan kemudian mereka shalat. Setelah itu mereka berkhuthbah singkat”. Ia melanjutkan : “Mereka tidak menahan orang-orang sedikitpun (seandainya ingin pergi). Kemudian mereka turun (dari mimbar), hingga orang-orang pun keluar. Nabi ﷺ tidak pernah duduk di atas mimbar (ketika berkhuthbah) hingga beliau meninggal. Beliau berkhuthbah dengan berdiri. Lantas, bagaimana bisa dikhawatirkan menahan manusia ?. Orang-orang dulu berkhuthbah hanyalah dengan berdiri, tidak duduk. Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan naik ke atas mimbar, lalu berdiri. Mereka tidak duduk di atas mimbar hingga menyelesaikannya. Mereka tidak duduk di atas mimbar setelah turun memulai khuthbahnya. Khuthbah mereka semuanya dilakukan dalam keadaan berdiri. Mereka mengucapkan syahadat sekali saja pada awalnya”. ‘Athaa’ meneruskan : “Dulu tidak ada mimbar kecuali mimbar Nabi ﷺ saja hingga datang Mu’aawiyyah ketika melaksanakan haji dengan membawa mimbar, lalu ia meninggalkan mimbar Nabi ﷺ tersebut. Maka setelah itu mereka senantiasa berkhuthbah di atas mimbar-mimbar” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/285-286 no. 5650].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5265 dan Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 1728.
Dalam riwayat Al-Faakihiy terdapat tambahan lafadh:
وَقَالَ بَعْضُ الْمَكِّيِّينَ: أَوَّلُ مَنْ خَطَبَ عَلَى مِنْبَرٍ بِمَكَّةَ: مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، جَاءَ بِمِنْبَرٍ مِنَ الشَّامِ صَغِيرٍ عَلَى ثَلاثِ دَرَجَاتٍ
“Sebagian orang-orang Makkah berkata : “Orang yang pertama kali berkhuthbah di atas mimbar di Makkah adalah Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu. Ia datang dengan membawa mimbar kecil dari Syaam yang memiliki tiga tangga”.
Atsar ini shahih hingga ‘Athaa’, namun mursal dalam hal penyandarannya terhadap Nabi ﷺ dan para Khulafaa’ Raasyidiin. Atsar ini memberi faedah:
1. Menurut pendapat ‘Athaa’; dulu Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum melakukan khuthbah ‘Ied dengan berdiri sepanjang khuthbahnya tanpa duduk.
2. Menurut pendapat ‘Athaa’; Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum hanya mengucapkan tasyahhud dalam khuthbah sekali saja. Ini menunjukkan khuthbah yang mereka lakukan hanya sekali karena Nabi ﷺ pernah bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
“Setiap khuthbah yang tidak ada padanya tasyahhud (syahadat), maka ia seperti tangan yang terpotong” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1106, Abu Daawud no. 4841, Ahmad 2/302, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/562].
Pandangan ‘Athaa’ ini membatalkan klaim ijmaa’ Ibnu Hazm rahimahullah. Apalagi ‘Athaa’ menisbatkan pandangannya tersebut kepada para pembesar shahabat seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum.
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ: مَتَى كَانَ مَنْ مَضَى يَخْرُجُ أَحَدُهُمْ مِنْ بَيْتِهِ يَوْمَ الْفِطْرِ لِلصَّلاةِ؟ فَقَالَ: كَانُوا يَخْرُجُونَ حَتَّى يَمْتَدَّ الضُّحَى فَيُصَلُّونَ، ثُمَّ يَخْطُبُونَ قَلِيلا سُوَيْعَةً، يُقَلِّلُ خُطْبَتَهُمْ؟ قَالَ: لا يَحْبِسُونَ النَّاسَ شَيْئًا، قَالَ: ثُمَّ يَنْزِلُونَ فَيَخْرُجُ النَّاسُ قَالَ: مَا جَلَسَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى مِنْبَرٍ حَتَّى مَاتَ، مَا كَانَ يَخْطُبُ إِلا قَائِمًا، فَكَيْفَ يُخْشَى أَنْ يَحْبِسُوا النَّاسَ؟ وَإِنَّمَا كَانُوا يَخْطُبُونَ قِيَامًا لا يَجْلِسُونَ، إِنَّمَا كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ، يَرْتَقِي أَحَدُهُمْ عَلَى الْمِنْبَرِ، فَيَقُومُ كَمَا هُوَ قَائِمًا لا يَجْلِسُ عَلَى الْمِنْبَرِ، حَتَّى يَرْتَقِيَ عَلَيْهِ، وَلا يَجْلِسُ عَلَيْهِ بَعْدَمَا يَنْزِلُ وَإِنَّمَا خُطْبَتُهُ جَمِيعًا وَهُوَ قَائِمٌ، إِنَّمَا كَانُوا يَتَشَهَّدُونَ مَرَّةً وَاحِدَةً الأُولَى، قَالَ: لَمْ يَكُنْ مِنْبَرٌ، إِلا مِنْبَرُ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى جَاءَ مُعَاوِيَةُ حِينَ حَجَّ بِالْمِنْبَرِ، فَتَرَكَهُ، قَالَ: فَلا يَزَالُونَ يَخْطُبُونَ عَلَى الْمَنَابِرِ بَعْدُ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : “Kapan orang-orang dulu keluar dari rumahnya pada hari ‘Iedul-Fithri untuk shalat ?”. ‘Athaa’ berkata : “Mereka biasanya keluar hingga nampak waktu Dluhaa, dan kemudian mereka shalat. Setelah itu mereka berkhuthbah singkat”. Ia melanjutkan : “Mereka tidak menahan orang-orang sedikitpun (seandainya ingin pergi). Kemudian mereka turun (dari mimbar), hingga orang-orang pun keluar. Nabi ﷺ tidak pernah duduk di atas mimbar (ketika berkhuthbah) hingga beliau meninggal. Beliau berkhuthbah dengan berdiri. Lantas, bagaimana bisa dikhawatirkan menahan manusia ?. Orang-orang dulu berkhuthbah hanyalah dengan berdiri, tidak duduk. Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan naik ke atas mimbar, lalu berdiri. Mereka tidak duduk di atas mimbar hingga menyelesaikannya. Mereka tidak duduk di atas mimbar setelah turun memulai khuthbahnya. Khuthbah mereka semuanya dilakukan dalam keadaan berdiri. Mereka mengucapkan syahadat sekali saja pada awalnya”. ‘Athaa’ meneruskan : “Dulu tidak ada mimbar kecuali mimbar Nabi ﷺ saja hingga datang Mu’aawiyyah ketika melaksanakan haji dengan membawa mimbar, lalu ia meninggalkan mimbar Nabi ﷺ tersebut. Maka setelah itu mereka senantiasa berkhuthbah di atas mimbar-mimbar” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 3/285-286 no. 5650].
Diriwayatkan juga oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5265 dan Al-Faakihiy dalam Akhbaar Makkah no. 1728.
Dalam riwayat Al-Faakihiy terdapat tambahan lafadh:
وَقَالَ بَعْضُ الْمَكِّيِّينَ: أَوَّلُ مَنْ خَطَبَ عَلَى مِنْبَرٍ بِمَكَّةَ: مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، جَاءَ بِمِنْبَرٍ مِنَ الشَّامِ صَغِيرٍ عَلَى ثَلاثِ دَرَجَاتٍ
“Sebagian orang-orang Makkah berkata : “Orang yang pertama kali berkhuthbah di atas mimbar di Makkah adalah Mu’aawiyyah radliyallaahu ‘anhu. Ia datang dengan membawa mimbar kecil dari Syaam yang memiliki tiga tangga”.
Atsar ini shahih hingga ‘Athaa’, namun mursal dalam hal penyandarannya terhadap Nabi ﷺ dan para Khulafaa’ Raasyidiin. Atsar ini memberi faedah:
1. Menurut pendapat ‘Athaa’; dulu Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum melakukan khuthbah ‘Ied dengan berdiri sepanjang khuthbahnya tanpa duduk.
2. Menurut pendapat ‘Athaa’; Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum hanya mengucapkan tasyahhud dalam khuthbah sekali saja. Ini menunjukkan khuthbah yang mereka lakukan hanya sekali karena Nabi ﷺ pernah bersabda:
كُلُّ خُطْبَةٍ لَيْسَ فِيهَا تَشَهُّدٌ فَهِيَ كَالْيَدِ الْجَذْمَاءِ
“Setiap khuthbah yang tidak ada padanya tasyahhud (syahadat), maka ia seperti tangan yang terpotong” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1106, Abu Daawud no. 4841, Ahmad 2/302, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 1/562].
Pandangan ‘Athaa’ ini membatalkan klaim ijmaa’ Ibnu Hazm rahimahullah. Apalagi ‘Athaa’ menisbatkan pandangannya tersebut kepada para pembesar shahabat seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum.
Namun demikian, perkataan ‘Athaa’ bahwa Nabi ﷺ dan para khalifah setelahnya berkhuthbah ‘Ied dengan menggunakan mimbar adalah keliru. Terlebih penyandaran ini kualitasnya mursal, sehingga ia menyampaikan sebatas yang ia ketahui saja. Riwayat shahih menyatakan mimbar tidak pernah dipakai oleh Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum ketika khuthbah ‘Ied di mushalla (tanah lapang). Mimbar dalam khuthbah ‘Ied baru ada di jaman Marwaan ketika menjabat sebagai amir Madiinah.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى إِلَى الْمُصَلَّى، فَأَوَّلُ شَيْءٍ يَبْدَأُ بِهِ الصَّلَاةُ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ مُقَابِلَ النَّاسِ وَالنَّاسُ جُلُوسٌ عَلَى صُفُوفِهِمْ فَيَعِظُهُمْ وَيُوصِيهِمْ وَيَأْمُرُهُمْ، فَإِنْ كَانَ يُرِيدُ أَنْ يَقْطَعَ بَعْثًا قَطَعَهُ أَوْ يَأْمُرَ بِشَيْءٍ أَمَرَ بِهِ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ،
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ، فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ الصَّلْتِ، فَإِذَا مَرْوَانُ يُرِيدُ أَنْ يَرْتَقِيَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَجَبَذْتُ بِثَوْبِهِ فَجَبَذَنِي، فَارْتَفَعَ فَخَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَقُلْتُ لَهُ: غَيَّرْتُمْ وَاللَّهِ، فَقَالَ أَبَا سَعِيدٍ قَدْ ذَهَبَ مَا تَعْلَمُ، فَقُلْتُ: مَا أَعْلَمُ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا لَا أَعْلَمُ، فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَجْلِسُونَ لَنَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَجَعَلْتُهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: فَلَمْ يَزَلِ النَّاسُ عَلَى ذَلِكَ حَتَّى خَرَجْتُ مَعَ مَرْوَانَ وَهُوَ أَمِيرُ الْمَدِينَةِ فِي أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ، فَلَمَّا أَتَيْنَا الْمُصَلَّى إِذَا مِنْبَرٌ بَنَاهُ كَثِيرُ بْنُ الصَّلْتِ، فَإِذَا مَرْوَانُ يُرِيدُ أَنْ يَرْتَقِيَهُ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَجَبَذْتُ بِثَوْبِهِ فَجَبَذَنِي، فَارْتَفَعَ فَخَطَبَ قَبْلَ الصَّلَاةِ، فَقُلْتُ لَهُ: غَيَّرْتُمْ وَاللَّهِ، فَقَالَ أَبَا سَعِيدٍ قَدْ ذَهَبَ مَا تَعْلَمُ، فَقُلْتُ: مَا أَعْلَمُ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّا لَا أَعْلَمُ، فَقَالَ: إِنَّ النَّاسَ لَمْ يَكُونُوا يَجْلِسُونَ لَنَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَجَعَلْتُهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ
Dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Rasulullah ﷺ keluar pada hari raya ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa menuju mushalla (tanah lapang). Maka hal pertama yang dimulai beliau ﷺ adalah shalat. Setelah itu, beliau ﷺ berpaling lalu berdiri menghadap orang-orang, sedangkan orang-orang dalam keadaan duduk dalam shaff-shaff mereka. Beliau ﷺ memberikan nasihat, pesan, dan perintah kepada mereka. Apabila beliau hendak ﷺ mengirim pasukan, maka beliau ﷺ memotong khuthbahnya (sebentar); atau apabila beliau ﷺ hendak memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya; kemudian beliau ﷺ berpaling (melanjutkan khuthbahnya).
Abu Sa’iid berkata : “Orang-orang senantiasa dalam keadaan seperti itu hingga (suatu saat) aku keluar bersama Marwaan yang menjabat sebagai amir kota Madiinah pada ‘Iedul-Adlaa atau ‘Iedul-Fithri. Ketika kami mendatangi mushallaa, ternyata ada mimbar yang dibuat oleh Katsiir bin Shalt. Saat Marwaan hendak menaikinya sebelum shalat, aku menarik bajunya dan ia pun kemudian menarikku. Ia tetap naik ke atas mimbar dan berkhuthbah sebelum shalat. Aku katakan kepadanya : ‘Engkau telah mengubah (sunnah Nabi ﷺ), demi Allah’. Ia (Marwaan) berkata : ‘Wahai Abu Sa’iid, sungguh apa yang engkau ketahui telah berlalu’. Aku berkata : “Apa yang aku ketahui – demi Allah – lebih baik daripada yang tidak aku ketahui’. Ia berkata : ‘Sesungguhnya orang-orang tidak duduk untuk kami setelah shalat, sehingga aku menjadikannya sebelum shalat” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 956].
Dalam riwayat lain, Abu Sa’iid berkata:
أَخْرَجَ مَرْوَانُ الْمِنْبَرَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، وَلَمْ يَكُنْ يُخْرَجُ بِهِ، وَبَدَأَ بِالْخُطْبَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ، وَلَمْ يَكُنْ يُبْدَأُ بِهَا
“Marwaan mengeluarkan mimbar pada hari ‘Ied, dan hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya. Ia memulainya dengan khuthbah sebelum shalat, dan hal itu belum pernah dilakukan sebelumnya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/10, Abu Daawud no. 1140, Ibnu Maajah no. 1275, dan yang lainnya; shahih].
Marwaan bin Al-Hakam menjabat amir/gubernur Madiinah di jaman Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan, sehingga dipahami bahwa mimbar dalam khuthbah ‘Iedain dimulai pada era kekhilafahan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa. Marwaan adalah orang yang pertama kali mendahulukan khuthbah sebelum shalat di Madiinah[1].
‘Athaa’ mengatakan Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum berkhuthbah di atas mimbar kemungkinan karena masyhurnya perkara tersebut di jamannya, sehingga ia menyangka itu dilakukan semenjak jaman Nabi ﷺ dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum[2].
Jika mimbar tidak pernah dibawa ke mushalla (tanah lapang), bagaimana dapat dikatakan khuthbah ‘Ied dilakukan dua kali dipisah dengan duduk, yang kemudian diqiyaskan dengan khuthbah Jum’at?. Duduk hanya dilakukan jika ada mimbar.
Telah shahih riwayat dari Nabi ﷺ dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum mereka berkhuthbah ‘Iedain di atas hewan tunggangannya.
Marwaan bin Al-Hakam menjabat amir/gubernur Madiinah di jaman Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan, sehingga dipahami bahwa mimbar dalam khuthbah ‘Iedain dimulai pada era kekhilafahan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhumaa. Marwaan adalah orang yang pertama kali mendahulukan khuthbah sebelum shalat di Madiinah[1].
‘Athaa’ mengatakan Nabi ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum berkhuthbah di atas mimbar kemungkinan karena masyhurnya perkara tersebut di jamannya, sehingga ia menyangka itu dilakukan semenjak jaman Nabi ﷺ dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum[2].
Jika mimbar tidak pernah dibawa ke mushalla (tanah lapang), bagaimana dapat dikatakan khuthbah ‘Ied dilakukan dua kali dipisah dengan duduk, yang kemudian diqiyaskan dengan khuthbah Jum’at?. Duduk hanya dilakukan jika ada mimbar.
Telah shahih riwayat dari Nabi ﷺ dan para shahabat radliyallaahu ‘anhum mereka berkhuthbah ‘Iedain di atas hewan tunggangannya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَطَبَ يَوْمَ عِيدٍ عَلَى رَاحِلَتِهِ
Dari Abu Sa’iid, ia berkata : “Sesungguhnya Rasulullah ﷺ pernah berkhuthbah ‘Ied di atas hewan tunggangannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/188 no. 5901, Abu Ya’laa no. 1182, Ibnu Khuzaimah no. 1445, Ibnu Hibbaan no. 2825, dan yang lainnya; shahih].
عَنْ مَيْسَرَةَ أَبِي جَمِيلَةَ، قَالَ: " شَهِدْتُ مَعَ عَلِيٍّ الْعِيدَ فَلَمَّا صَلَّى خَطَبَ عَلَى رَاحِلَتِهِ "، قَالَ: وَكَانَ عُثْمَانُ يَفْعَلُهُ
Dari Maisarah Abu Jamiilah, ia berkata : “Aku pernah menghadiri ‘Ied bersama ‘Aliy (bin Abi Thaalib). Ketika selesai shalat, ia berkhuthbah di atas hewan kendaraannya. Ia berkata : ‘Dulu ‘Utsmaan juga melakukannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/188 no. 5902; hasan].
Maisarah mempunyai syawaahid dari Al-Mughiirah bin Syu’bah, Ibnu Abi Lailaa,
Sisi pendalilannya : Orang berkhuthbah di atas hewan kendaraannya tidak seperti orang yang berkhuthbah Jum’at yang ia berdiri, lalu duduk, lalu berdiri lagi.
Tidak ternukil satupun riwayat shahih dari Nabi ﷺ dan para pembesar shahabat radliyallaahu ‘anhum berkhuthbah ‘Ied dua kali dengan diselingi duduk antara keduanya. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
Maisarah mempunyai syawaahid dari Al-Mughiirah bin Syu’bah, Ibnu Abi Lailaa,
Sisi pendalilannya : Orang berkhuthbah di atas hewan kendaraannya tidak seperti orang yang berkhuthbah Jum’at yang ia berdiri, lalu duduk, lalu berdiri lagi.
Tidak ternukil satupun riwayat shahih dari Nabi ﷺ dan para pembesar shahabat radliyallaahu ‘anhum berkhuthbah ‘Ied dua kali dengan diselingi duduk antara keduanya. An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَمَا رُوِيَ عَنْ اِبْن مَسْعُود أَنَّهُ قَالَ : السُّنَّة أَنْ يَخْطُب فِي الْعِيد خُطْبَتَيْنِ يَفْصِل بَيْنهمَا بِجُلُوسٍ ضَعِيف غَيْر مُتَّصِل ، وَلَمْ يَثْبُت فِي تَكْرِير الْخُطْبَة شَيْء ، وَالْمُعْتَمَد فِيهِ الْقِيَاس عَلَى الْجُمُعَة
“Dan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’uud bahwasannya ia berkata : ‘Termasuk sunnah adalah berkhuthbah di hari ‘Ied dengan dua khuthbah yang dipisahkan antara keduanya dengan duduk’, dla’iif tidak bersambung (sanadnya). Tidak ada sama sekali riwayat shahih dalam hal pengulangan khuthbah (‘Ied). Dan yang dianggap/diakui dalam permasalahan tersebut adalah qiyas terhadap khuthbah Jum’at” [Al-Khulaashah – dinukil melalui perantaraan ‘Aunul-Ma’buud 4/4].
Jika demikian, tersisa bagi pendapat pertama (jumhur) hujjah qiyas. Apakah qiyas tersebut valid ?. Jawabnya tidak, karena tidak ada ‘illat shahih antara keduanya sehingga khuthbah ‘Iedain dapat diqiyaskan dengan khuthbah Jum’at.
Seandainya pun qiyas tersebut diterima, maka seharusnya hukum-hukum khuthbah Jum’at yang lain juga mesti diterapkan dalam khuthbah ‘Ied. Kenyataannya tidak.
Seandainya pun qiyas tersebut diterima, maka seharusnya hukum-hukum khuthbah Jum’at yang lain juga mesti diterapkan dalam khuthbah ‘Ied. Kenyataannya tidak.
Misalnya : menghadiri menghadiri khuthbah Jum’at adalah wajib, sedangkan menghadiri khuthbah ‘Iedain tidak wajib. Dasarnya adalah hadits:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ، قَالَ: شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الْعِيدَ، فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ، قَالَ: " إِنَّا نَخْطُبُ، فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَجْلِسَ لِلْخُطْبَةِ فَلْيَجْلِسْ، وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَذْهَبَ فَلْيَذْهَبْ
Dari Abdullah bin Saib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku menghadiri ‘Ied bersama Rasulullah ﷺ. Ketika telah selesai shalat, maka beliau bersabda : ‘Sesungguhnya kami akan berkhuthbah. Barangsiapa yang ingin duduk untuk mendengarkan khuthbah, hendaklah ia duduk. Dan barangsiapa yang ingin pergi, maka silakan ia pergi” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1155, Ibnu Maajah no. 1290, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 3/96 no. 629].
Begitu juga dengan pensyarai’atan waktu pelaksanaannya. Khuthbah Jum’at dilakukan sebelum shalat, sedangkan khuthbah ‘Iedain setelah shalat.
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَأَبِي بَكْرٍ، وَعُمَرَ، وَعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فَكُلُّهُمْ كَانُوا يُصَلُّونَ قَبْلَ الْخُطْبَةِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Aku menghadiri shalat ‘Iedul-Fithri bersama Rasulullah ﷺ, Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman. Semuanya melaksanakan shalat sebelum khutbah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 919 dan Muslim no. 884].
Seandainya qiyas ini benar, mengapa mereka tidak mengqiyaskan juga pada pada khuthbah hari ‘Arafah yang statusnya hampir sama dengan khuthbah ‘Ied ?. Khuthbah hari ‘Arafah dilakukan hanya sekali khuthbah tanpa dipisahkan dengan duduk. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وَهِمَ مَنْ زَعَم أنه خَطَب بعرفة خُطْبتين جَلَس بينهما ثمَّ أذَّن المؤذِّنُ، فلمَّا فَرَغ أخَذَ في الخُطْبة الثانية، فلمَّا فَرَغ منها أقام الصلاةَ، وهذا لم يجئ في شيءٍ مِنَ الأحاديث ألبتَّةَ، وحديثُ جابرٍ صريحٌ في أنه لمَّا أكمل خُطْبتَه أذَّن بلالٌ وأقام الصلاةَ فصلَّى الظهرَ بعد الخُطْبة
“Telah keliru orang yang menyangka beliau ﷺ khuthbah pada hari ‘Arafah dengan dua khuthbah yang diselingi duduk antara keduanya, kemudian muadzdzin mengumandangkan adzan. Ketika selesai, beliau melakukan khuthbah kedua, lalu dilanjutkan setelahnya mendirikan shalat. Perkara ini tidak ada dalilnya sama sekali dalam hadits-hadits. Hadits Jaabir jelas menunjukkan ketika beliau ﷺ menyempurnakan khuthbahnya, Bilaal mengumandangkan adzan, dan shalat ditegakkan. Lalu beliau ﷺ melakukan shalat Dhuhur setelah khuthbah…” [Zaadul-Ma’aad, 2/306].
Dari sini diketahui bahwa masing-masing khuthbah mempunyai sifat-sifat tersendiri berdasarkan nash yang tidak bisa diqiyaskan semua dengan khuthbah Jum’at.
Lantas bagaimana dengan perkataan sebagian salaf seperti ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah ?.
Lantas bagaimana dengan perkataan sebagian salaf seperti ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah ?.
Kita tidak dapat menyepakati untuk mengatakan sunnah dalam khuthbah ‘Iedain berkhuthbah dua kali di atas mimbar sementara mimbar tidak pernah dibawa ke mushalla (tanah lapang) oleh Rasulullah ﷺ dan Al-Khulafaaur-Raasyidiin. Apakah mungkin ada sunnah yang tidak dilakukan Nabi dan Khulafaa' Raasyidiin ?. Tidak lain ini adalah ijtihad beliau rahimahullah karena masyhurnya perkara ini di jamannya. Begitu juga dengan riwayat yang ternukil dari Ismaa’iil bin Umayyah di atas.
Kesimpulannya, khuthbah ‘Ied hanya dilakukan sekali. Inilah pendapat Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Juga pendapat ‘Athaa’ bin Abi Rabbah rahimahullah. Dari kalangan ulama muta’khkhiriin, pendapat ini dikuatkan oleh Sayyid Saabiq, Al-Albaaniy, Al-‘Utsaimiin, dan Al-Wadii’iy rahimahumullah.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
Semoga ada manfaatnya.
Post a Comment