KEUTAMAAN TAUHID DAN BAHAYA SYIRIK
Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
1) Tauhid adalah Jaminan Keselamatan di Dunia dan Akhirat
Allah ta’ala berfirman,
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mendapat petunjuk. [Al-An’am: 82]
Beberapa Pelajaran:
1) Allah tabaraka wa ta’ala menjelaskan di dalam ayat yang mulia ini tentang siapakah orang yang beriman? Orang yang beriman adalah yang benar-benar mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu tidak melakukan kezaliman sedikit pun, dan kezaliman yang dimaksud dalam ayat ini adalah kesyirikan kepada Allah ta’ala, sebagaimana ditafsirkan sendiri oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam riwayat berikut, Sahabat yang Mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
لَمَّا نَزَلَتْ {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ}، قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَيُّنَا لاَ يَظْلِمُ نَفْسَهُ؟ قَالَ: " لَيْسَ كَمَا تَقُولُونَ {لَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ} بِشِرْكٍ، أَوَلَمْ تَسْمَعُوا إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Ketika turun ayat, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” kami pun berkata: Wahai Rasulullah, siapakah diantara kami yang tidak menzalimi dirinya sendiri? Beliau bersabda: Tidak seperti yang kalian katakan, tetapi maksud “Tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” adalah dengan kesyirikan, tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman kepada anaknya:
يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Wahai Anakku janganlah kamu menyekutukan Allah, karena menyekutukan Allah itu adalah kezaliman yang besar.” (Luqman: 13).” [HR. Al-Bukhari dan Muslim, dan ini lafaz Al-Bukhari]
Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ} أَيْ: هَؤُلَاءِ الَّذِينَ أَخْلَصُوا الْعِبَادَةَ لِلَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ، لَهُ، وَلَمْ يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا هُمُ الْآمِنُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، الْمُهْتَدُونَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ.
“Firman Allah ta’ala, “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” maknanya: Mereka adalah orang-orang yang memurnikan ibadah hanya kepada Allah yang satu saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan mereka tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, merekalah yang akan mendapatkan keamanan di hari kiamat dan hidayah di dunia dan akhirat.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/294, Fathul Majid, hal. 32]
2) Keutamaan terbesar akan diraih oleh orang yang mentauhidkan Allah dan menjauhi kesyirikan, yaitu keamanan dan hidayah, mencakup di dunia dan akhirat (lihat Al-Qoulul Mufid, 1/63);
• Keamanan di dunia dan akhirat; yaitu keamanan dari azab Allah ta’ala, baik di dunia, di kubur, di hari kebangkitan dan keamanan dari azab neraka, namun dengan syarat istiqomah di atas tauhid dan sunnah sampai akhir hayat.
• Hidayah mencakup dua macam hidayah; hidayah kepada ilmu dan hidayah kepada amalan, yaitu taufiq dari Allah ta’ala untuk senantiasa menuntut ilmu dan mengamalkannya. Dan tidak diragukan lagi, ilmu dan amal adalah syarat meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
3) Peringatan bahwa semua bentuk kezaliman dapat memberikan pengaruh terhadap keamanan dan hidayah bagi seorang hamba, dan kezaliman itu ada tiga bentuk (lihat Al-Qoulul Mufid, 1/61-62);
Pertama: Kezaliman terbesar, yaitu syirik dan kufur kepada Allah ta’ala,
Kedua: Kezaliman terhadap diri sendiri, yaitu semua perbuatan dosa, dan atau tidak memberikan hak kepada dirinya seperti berpuasa tanpa berbuka, sholat malam tanpa tidur, dan lan-lain.
Ketiga: Kezaliman terhadap orang lain, yaitu menyakiti orang lain tanpa alasan yang benar, baik menyakiti dengan ucapan seperti menghina dan mengghibah, maupun perbuatan seperti memukul dan membunuh;
• Siapa yang menyempurnakan tauhidnya dengan menjauhi semua bentuk kezaliman, maka ia akan mendapatkan keamanan dan hidayah secara sempurna,
• Siapa yang hanya menjauhi kezaliman terbesar (syirik) namun tidak menjauhi kezaliman terhadap diri sendiri dan orang lain, maka ia tidak akan mendapatkan keamanan dan hidayah secara sempurna, ia masih terancam dengan azab Allah ta’ala, nasibnya di bawah kehendak Allah, apakah diampuni atau diazab, namun andaikan diazab, azabnya tidak kekal seperti orang-orang yang melakukan syirik.
• Siapa yang tidak menjauhi kezaliman terbesar (syirik) walau tidak melakukan kezaliman terhadap diri sendiri (selain syirik) dan tidak pula kezaliman terhadap orang lain, maka ia tidak akan mendapatkan keamanan dan hidayah sama sekali, ia pasti diazab dengan azab yang sangat pedih dan kekal di neraka selama-lamanya jika ia mati sebelum bertaubat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
فمن سلم من أجناس الظلم الثلاثة كان له الأمن التام والاهتداء التام ومن لم يسلم من ظلمه نفسه كان له الأمن والاهتداء مطلقا بمعنى أنه لابد أن يدخل الجنة كما وعد بذلك في الآية الأخرى. وقد هداه إلى الصراط المستقيم الذي تكون عاقبته فيه إلى الجنة ويحصل له من نقص الأمن والاهتداء بحسب ما نقص من إيمانه بظلمه نفسه
“Siapa yang selamat dari tiga bentuk kezaliman ini, maka ia akan mendapatkan keamanan dan hidayah secara sempurna, dan siapa yang tidak selamat dari kezaliman terhadap dirinya sendiri, maka ia hanya mendapatkan keamanan dan hidayah secara umum saja, artinya ia tetap akan masuk surga (walau mungkin diazab dulu) sebagaimana telah dijanjikan dalam ayat yang lain. Dan sungguh Allah akan memberikan hidayah untuknya kepada jalan yang lurus yang akhirnya akan mengantarkan ke surga, namun akan berkurang keamanan dan hidayah baginya sesuai dengan kadar berkurangnya iman karena kezalimannya terhadap diri sendiri.” [Al-Iman, hal. 69, Tahqiq Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah, Al-Maktab Al-Islami Amman Yordania, 1416 H]
4) Hendaklah setiap hamba menjaga tauhidnya dari dua perkara;
Pertama: Pembatal-pembatal tauhid, yaitu segala macam bentuk kesyirikan dan kekafiran yang dapat menghilangkan tauhid sama sekali,
Kedua: Perkara-perkara yang dapat mengurangi kesempurnaannya, yaitu semua bentuk perbuatan dosa dan maksiat; agar ia mendapatkan keamanan dan hidayah secara sempurna.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata,
فدلت على فضل التوحيد وتكفيره للذنوب، لأن من أتى به تامًا فله الأمن التام والاهتداء التام، ودخل الجنة بلا عذاب، ومَن أتى به ناقصًا بالذنوب التي لم يتب منها، فإن كانت صغائر كفرت باجتناب الكبائر، لآية (النّساء: 31)، و (النّجم: 32) وإن كانت كبائر فهو في حكم المشيئة، إن شاء الله غفر له، وإن شاء عذبه، ومآله إلى الجنة، والله أعلم.
“Maka ayat ini menunjukkan keutamaan tauhid dan menjadi sebab terhapusnya dosa-dosa, kerena siapa yang menyempurnakan tauhid maka ia akan mendapatkan keamanan dan hidayah secara sempurna, serta masuk surga tanpa hisab, namun siapa yang mengurangi kesempurnaannya dengan dosa-dosa yang belum sempat ia bertaubat darinya (sampai mati), maka;
• Apabila itu dosa-dosa kecil, akan terhapus dengan menjauhi dosa-dosa besar, berdasarkan ayat dalam surat An-Nisa: 31 dan An-Najm: 32,
• Apabila itu dosa-dosa besar maka ia di bawah kehendak Allah ta’ala, apakah Allah menghendaki untuk mengampuninya atau mengazabnya, dan tempat kembali akhirnya adalah surga (andai ia diazab, ia tidak kekal di neraka seperti orang-orang yang musyrik dan kafir), wallaahu a’lam.” [Taisirul ‘Azizil Hamid, hal. 51]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
إن كان الإيمان كاملا لم يخالطه معصية، فالأمن أمن مطلق، أي كامل، وإذا كان الإيمان مطلق إيمان- غير كامل-، فله مطلق الأمن، أي: أمن ناقص.
مثال ذلك: مرتكب الكبيرة، آمن من الخلود في النار، وغير آمن من العذاب، بل هو تحت المشيئة، قال الله تعالى: {إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}
مثال ذلك: مرتكب الكبيرة، آمن من الخلود في النار، وغير آمن من العذاب، بل هو تحت المشيئة، قال الله تعالى: {إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ}
“Apabila iman sempurna tidak tercampur maksiat, maka jaminan keamanan pun sempurna, namun apabila iman tidak sempurna, maka jaminan keamanan pun tidak sempurna, contohnya: Pelaku dosa besar (selain syirik dan kufur), ia aman dari azab neraka secara kekal, namun belum aman sama sekali dari azab (masih mungkin diazab walau tidak kekal di neraka), keadaannya di bawah kehendak Allah, Allah ta’ala berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48).” [Al-Qoulul Mufid, 1/62]
5) Peringatan keras dari bahaya syirik, bahwa orang yang menyekutukan Allah ta’ala tidak akan mendapatkan keamanan dan hidayah;
• Orang yang menyekutukan Allah pasti tersesat dalam kehidupan dunia, bahkan dialah orang yang paling sesat. Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا
“Barangsiapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” [An-Nisa: 116]
Allah ta’ala juga befirman,
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ يَدْعُو مِنْ دُونِ اللَّهِ مَنْ لَا يَسْتَجِيبُ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَهُمْ عَنْ دُعَائِهِمْ غَافِلُونَ وَإِذَا حُشِرَ النَّاسُ كَانُوا لَهُمْ أَعْدَاءً وَكَانُوا بِعِبَادَتِهِمْ كَافِرِينَ
“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang menyembah sembahan-sembahan selain Allah yang tiada dapat memperkenankan (doa) nya sampai hari kiamat dan mereka lalai dari (memperhatikan) doa mereka? Dan apabila manusia dikumpulkan (pada hari kiamat) niscaya sembahan-sembahan itu menjadi musuh mereka dan mengingkari pemujaan-pemujaan mereka.” [Al-Ahqof: 5-6]
• Orang yang menyekutukan Allah pasti akan mendapatkan azab di dunia atau di akhirat, bahkan kekal di neraka untuk selama-lamanya. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang lalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maidah: 72]
Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluq.” [Al-Bayyinah: 6]
2) Tauhid adalah Tujuan dan Hikmah Penciptaan Makhluk.
Allah ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالأِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” [Adz-Dzariyyat: 56]
Beberapa Pelajaran:
1) Ibadah kepada Allah ta’ala adalah tujuan dan hikmah penciptaan jin dan manusia.
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أن هَذَا هُوَ الْمَقْصُود الَّذِي خلق الله الْخلق لَهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى {وَمَا خلقت الْجِنّ وَالْإِنْس إِلَّا ليعبدون} فَكل مَا كَانَ لأجل الْغَايَة الَّتِي خلق لَهُ الْخلق كَانَ مَحْمُودًا عِنْد الله وهو الذي يبْقى لصَاحبه وينفعه الله بِهِ وَهَذِه الأعمال هِيَ الْبَاقِيَات الصَّالِحَات
“Bahwa inilah maksud Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan makhluk, sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (Adz-Dzariyyat: 56) Maka setiap amalan yang dikerjakan untuk tujuan ibadah, terpuji di sisi Allah dan itulah yang akan kekal bagi pemiliknya serta mendapatkan manfaat dari Allah. Inilah amal-amal shalih yang akan tetap tinggal bersama pemiliknya.” [Al-Istiqomah, 2/284-285]
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
وَقَدْ قَالَ تَعَالَى: {وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ} [الذاريات: 56] فَالْغَايَةُ الْحَمِيدَةُ الَّتِي بِهَا يَحْصُلُ كَمَالُ بَنِي آدَمَ وَسَعَادَتُهُمْ وَنَجَاتُهُمْ عِبَادَةُ اللَّهِ وَحْدَهُ، وَهِيَ حَقِيقَةُ قَوْلِ الْقَائِلِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَلِهَذَا بَعَثَ اللَّهُ جَمِيعَ الرُّسُلِ، وَأَنْزَلَ جَمِيعَ الْكُتُبِ، وَلَا تَصْلُحُ النَّفْسُ وَتَزْكُو وَتَكْمُلُ إِلَّا بِهَذَا
“Dan sungguh Allah ta’ala telah berfirman, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (Adz-Dzariyyat: 56) Maka tujuan mulia yang dengannya anak Adam akan meraih kesempurnaan, kebahagiaan dan keselamatan adalah beribadah kepada Allah yang satu saja, dan inilah hakikat ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan karena itulah Allah ta’ala mengutus seluruh rasul dan menurunkan semua kitab, dan jiwa tidak akan menjadi baik, bersih dan sempurna kecuali dengan ini (ibadah kepada Allah yang satu saja).” [Al-Jawaabus Shahih, 6/29]
• Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وَمَعْنَى الْآيَةِ: أَنَّهُ تَعَالَى خَلَقَ الْعِبَادَ لِيَعْبُدُوهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، فَمَنْ أَطَاعَهُ جَازَاهُ أَتَمَّ الْجَزَاءِ، وَمِنْ عَصَاهُ عَذَّبَهُ أَشَدَّ الْعَذَابِ، وَأَخْبَرَ أَنَّهُ غَيْرُ مُحْتَاجٍ إِلَيْهِمْ، بَلْ هُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَيْهِ فِي جَمِيعِ أَحْوَالِهِمْ، فَهُوَ خَالِقُهُمْ وَرَازِقُهُمْ.
“Makna ayat ini: Bahwa Allah menciptakan makhluq semata-mata untuk beribadah kepada-Nya saja, tidak ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa yang menaati perintah-Nya, maka Dia akan membalasnya dengan balasan yang paling sempurna, dan barangsiapa yang bermaksiat kepada-Nya, maka Dia akan mengazabnya dengan azab yang paling pedih. Allah ta’ala juga mengabarkan bahwa Dia tidak butuh kepada makhluq, bahkan makhluqlah yang butuh kepada-Nya dalam segala keadaan mereka, Dia-lah Allah Pencipta dan Pemberi rezeki mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir, 7/425, Fathul Majid, hal. 19]
Inilah keyakinan yang benar dan pandangan hidup seorang mukmin, bahwa hidup semata-mata untuk menghamba kepada Allah ta'ala, dan Allah ta'ala telah membantah orang-orang yang tidak memiliki pandangan hidup ini,
أَيَحْسَبُ الأِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدىً
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan sia-sia begitu saja?” [Al-Qiyaamah: 36]
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ فَتَعَالَى اللَّهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لَا إِلَهَ إِلا هُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيمِ
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu untuk main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah (dari perbuatan mencipta untuk main-main), Dia Raja Yang Sebenarnya; tidak ada Sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia, Rabb (Yang mempunyai) 'arsy yang mulia." [Al-Mukminun: 115-116]
2) Ibadah yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah tauhid, bukan sekedar menyembah Allah, tetapi memurnikan penyembahan hanya kepada Allah yang satu saja, tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun; yaitu meyakini hanya Allah ta’ala satu-satunya sesembahan yang benar dan tidak boleh mempersembahkan satu bentuk ibadah kecuali kepada-Nya saja.
Maka siapa yang beribadah kepada Allah, tetapi ia meyakini ada selain Allah yang boleh diibadahi atau ia masih juga beribadah kepada selain-Nya, seperti berdoa dan tawakkal kepada selain Allah, menyembelih dan berkurban untuk selain-Nya, maka pada hakikatnya ia belum beribadah kepada Allah, karena ia belum memurnikan ibadah hanya kepada Allah.
Sahabat yang Mulia Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,
كَلُّ مَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ مِنَ الْعِبَادَةِ فَمَعْنَاهَا التَّوْحِيدُ
“Semua kata ibadah yang disebutkan dalam Al-Qur’an maknanya adalah tauhid.” [Tafsir Al-Baghawi, 1/71]
3) Kewajiban untuk selalu mencari keridhoaan dan kecintaan Allah ta’ala dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dalam hidup ini, karena itulah hakikat ibadah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
الْعِبَادَة هِيَ اسْم جَامع لكل مَا يُحِبهُ الله ويرضاه من الْأَقْوَال والأعمال الْبَاطِنَة وَالظَّاهِرَة.
“Ibadah adalah satu nama yang mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik ucapan maupun perbuatan, yang nampak (pada anggota tubuh) maupun yang tersembunyi (dalam hati).” [Al-‘Ubudiyyah, hal. 44]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga berkata,
فَالصَّلَاة وَالزَّكَاة وَالصِّيَام وَالْحج وَصدق الحَدِيث وَأَدَاء الْأَمَانَة وبرّ الْوَالِدين وصلَة الْأَرْحَام وَالْوَفَاء بالعهود وَالْأَمر بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْي عَن الْمُنكر وَالْجهَاد للْكفَّار وَالْمُنَافِقِينَ وَالْإِحْسَان للْجَار واليتيم والمسكين وَابْن السَّبِيل والمملوك من الْآدَمِيّين والبهائم وَالدُّعَاء وَالذكر وَالْقِرَاءَة وأمثال ذَلِك من الْعِبَادَة.
وَكَذَلِكَ حب الله وَرَسُوله وخشية الله والإنابة إِلَيْهِ وإخلاص الدَّين لَهُ وَالصَّبْر لحكمه وَالشُّكْر لنعمه وَالرِّضَا بِقَضَائِهِ والتوكل عَلَيْهِ والرجاء لِرَحْمَتِهِ وَالْخَوْف من عَذَابه وأمثال ذَلِك هِيَ من الْعِبَادَة لله.
وَذَلِكَ أَن الْعِبَادَة لله هِيَ الْغَايَة المحبوبة لَهُ والمرضية لَهُ الَّتِي خَلق الْخلق لَهَا كَمَا قَالَ الله تَعَالَى: {وَمَا خلقت الْجِنّ وَالْإِنْس إِلَّا ليعبدون}
“Maka;
• Sholat,
• Puasa,
• Zakat,
• Haji,
• Berkata jujur,
• Menunaikan amanah,
• Berbakti kepada kedua orang tua,
• Menyambung hubungan kekerabatan,
• Memenuhi janji,
• Memerintahkan kepada yang ma’ruf,
• Melarang kemungkaran,
• Jihad melawan orang-orang kafir dan munafik,
• Berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir, budak dan hewan,
• Berdo’a,
• Dzikir,
• Membaca Al-Qur’an, dan yang semisalnya, termasuk ibadah (badan).
• Sholat,
• Puasa,
• Zakat,
• Haji,
• Berkata jujur,
• Menunaikan amanah,
• Berbakti kepada kedua orang tua,
• Menyambung hubungan kekerabatan,
• Memenuhi janji,
• Memerintahkan kepada yang ma’ruf,
• Melarang kemungkaran,
• Jihad melawan orang-orang kafir dan munafik,
• Berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, musafir, budak dan hewan,
• Berdo’a,
• Dzikir,
• Membaca Al-Qur’an, dan yang semisalnya, termasuk ibadah (badan).
Demikian pula;
• Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya,
• Takut kepada Allah,
• Inabah (taubat dan bergantung) kepada Allah,
• Mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya,
• Sabar terhadap hukum-Nya,
• Bersyukur atas nikmat-Nya,
• Ridho terhadap ketetapan-Nya,
• Tawakkal kepada-Nya,
• Berharap rahmat-Nya,
• Takut azab-Nya, dan yang semisalnya, termasuk ibadah (hati) kepada Allah.
• Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya,
• Takut kepada Allah,
• Inabah (taubat dan bergantung) kepada Allah,
• Mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya,
• Sabar terhadap hukum-Nya,
• Bersyukur atas nikmat-Nya,
• Ridho terhadap ketetapan-Nya,
• Tawakkal kepada-Nya,
• Berharap rahmat-Nya,
• Takut azab-Nya, dan yang semisalnya, termasuk ibadah (hati) kepada Allah.
Demikian itu karena ibadah kepada Allah ta’ala adalah tujuan yang Dia cintai dan ridhoi, yang karenanya Dia menciptakan makhluk, sebagaimana firman Allah ta’ala, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku saja.” (Adz-Dzariyyat: 56).” [Al-‘Ubudiyyah, hal. 44]
Al-Imam Mujahid rahimahullah berkata,
إلا لآمرهم وأنهاهم
“(Makna ayat ini: Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia) kecuali untuk Aku perintah dan Aku larang.” [Fathul Majid, hal. 15]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وعبادته هي طاعته بفعل المأمور وترك المحظور
“Ibadah kepada-Nya adalah menaati-Nya dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.” [Fathul Majid, hal. 14]
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
والعبادة بمفهومها العام هي التذلل لله محبة وتعظيماً بفعل أوامره واجتناب نواهيه على الوجه الذي جاءت به شرائعه
“Ibadah dalam arti yang umum adalah merendahkan diri kepada Allah dengan penuh cinta dan pengagungan seraya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan cara yang sesuai dengan syari’at-Nya.” [Syarhu Tsalatsatil Ushul, hal. 39]
4) Maka ibadah haruslah amalan yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta’ala, oleh karena itu tidak semua ibadah yang diterima, hanyalah ibadah yang sesuai dengan persyaratan yang telah Allah tetapkan yang akan diterima, yaitu memenuhi dua syarat:
• Ikhlas karena Allah ta’ala,
• Meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Jika telah memenuhi dua syarat ini, barulah suatu amalan dicintai dan diridhai Allah tabaraka wa ta’ala.
• Ikhlas karena Allah ta’ala,
• Meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Jika telah memenuhi dua syarat ini, barulah suatu amalan dicintai dan diridhai Allah tabaraka wa ta’ala.
Dan ini termasuk tujuan penciptaan makhluk, yaitu beribadah dengan memenuhi dua syarat tersebut, itulah amalan yang terbaik;
• Bukan sembarang ibadah,
• Bukan pula sekedar banyak secara kuantitas,
• Bukan untuk pamer, atau mencari keuntungan duniawi belaka,
• Bukan pula sekedar ikut-ikutan dalam beribadah, tanpa didasari oleh ilmu.
• Bukan sembarang ibadah,
• Bukan pula sekedar banyak secara kuantitas,
• Bukan untuk pamer, atau mencari keuntungan duniawi belaka,
• Bukan pula sekedar ikut-ikutan dalam beribadah, tanpa didasari oleh ilmu.
Allah ta’ala berifman,
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“(Allah) Yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya.” (Al-Mulk: 2)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وَمَعْنَى الْآيَةِ: أَنَّهُ أَوْجَدَ الْخَلَائِقَ مِنَ الْعَدَمِ، لِيَبْلُوَهُمْ وَيَخْتَبِرَهُمْ أَيُّهُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا؟
“Makna ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan makhluk-makhluk dari sesuatu yang tadinya tidak ada (kemudian menjadi ada) untuk menguji mereka siapa diantara mereka yang paling baik amalannya?” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/176]
Al-Imam Abu ‘Ali Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,
أخلصه وأصوبه. قالوا: يا أبا علي، ما أخلصه وأصوبه؟ قال: إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل، وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل، حتى يكون خالصا صوابا، والخالص أن يكون لله، والصواب: أن يكون على السنة
“Amalan yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Orang-orang bertanya, “Wahai Abu ‘Ali apakah yang dimaksud dengan paling ikhlas dan paling benar?” Beliau berkata: Sesungguhnya amalan, jika telah ikhlas tetapi tidak benar maka tidak akan diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala). Demikian sebaliknya, jika amalan tersebut telah benar tetapi tidak ikhlas juga tidak akan diterima (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala), sampai menjadi ikhlas dan benar.
• Sedang ikhlas maknanya adalah dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala,
• Dan benar adalah dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).” [Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452]
• Sedang ikhlas maknanya adalah dilakukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala,
• Dan benar adalah dilakukan sesuai Sunnah (Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).” [Iqtidho’ Shirothil Mustaqim, hal. 451-452]
5) Peringatan dari bahaya kesyirikan, bahwa kesyirikan menafikan tujuan penciptaan makhluk untuk beribadah kepada Allah ta’ala yang satu saja, andai seorang yang melakukan syirik itu beribadah sekali pun maka ibadahnya tidak akan diterima, bahkan semua ibadah yang pernah ia kerjakan menjadi batil dan terhapus pahalanya.
• Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [Al-An’am: 88]
• Allah Ta’ala juga berfirman,
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ
“Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan terhapuslah amalanmu.” [Az-Zumar: 65]
Terhapusnya amalan pelaku syirik apabila ia mati sebelum bertaubat. Adapun jika ia bertaubat sebelum mati dengan memenuhi syarat-syarat taubat dan kembali kepada tauhid, maka insya Allah ta’ala amalannya tidak terhapus, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” [Al-Baqoroh: 217]
3) Tauhid adalah Misi Dakwah Seluruh Nabi dan Rasul ‘Alaihimussalaam.
Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thaghut (yang disembah selain Allah) itu." [An-Nahl: 36]
Beberapa Pelajaran:
1) Allah tabaraka wa ta’ala memerintahkan seluruh manusia dalam ayat yang mulia ini untuk mentauhidkan-Nya, yaitu memurnikan ibadah hanya kepada-Nya dan menjauhi semua bentuk ibadah kepada selain-Nya, inilah hakikat kalimat syahadat “Laa ilaaha illallah”.
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah berkata,
وأما معنى الآية، فأخبر تعالى أنه بعث {فِي كُلِّ أُمَّةٍ} ، أي: في كل طائفة، وقَرْنٍ من الناس {رَسُولاً} ، بهذه الكلمة: {أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ} ، أي: اعبدوا الله وحده واتركوا عبادة ما سواه، فلهذا خلقت الخليقة، وأرسلت الرسل، وأنزلت الكتب، كما قال تعالى: {وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ}. وقال تعالى: {قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلا أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ}. وهذه الآية هي معنى: لا إله إلا الله، فإنها تضمنت النفي والإثبات كما تضمنته لا إله إلا الله، ففي قوله: {اعْبُدُوا اللَّهَ} الإثبات، وفي قوله: {اجْتَنَبُوا الطَّاغُوتَ} النفي. فدلت الآية على أنه لا بد في الإسلام من النفي والإثبات، فيثبت العبادة لله وحده، وينفي عبادة ما سواه، وهو التوحيد الذي تضمنته سورة {قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ}. وهو معنى قوله: {فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ}.
قال ابن القيم: وطريقة القرآن في مثل هذا أن يقرن النفي بالإثبات، فينفي عبادة ما سوى الله، ويثبت عبادته، وهذا هو حقيقة التوحيد، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات بدون النفي، فلا يكون التوحيد إلا متضمنًا للنفي والإثبات، وهذا حقيقة لا إله إلا الله. انتهى.
قال ابن القيم: وطريقة القرآن في مثل هذا أن يقرن النفي بالإثبات، فينفي عبادة ما سوى الله، ويثبت عبادته، وهذا هو حقيقة التوحيد، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات بدون النفي، فلا يكون التوحيد إلا متضمنًا للنفي والإثبات، وهذا حقيقة لا إله إلا الله. انتهى.
“Adapun makna ayat ini, Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah mengutus “pada tiap-tiap umat” yaitu pada setiap golongan dan kurun manusia seorang rasul dengan membawa kalimat ini: “Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thaghut (yang disembah selain Allah) itu." Artinya: Beribadahlah kepada Allah yang satu saja dan tinggalkan peribadahan kepada selain-Nya, karena untuk itulah makhluk diciptakan, para rasul diutus dan kitab-kitab diturunkan, sebagaimana firman Allah ta’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: Bahwasanya tidak ada yang berhak disembah melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku." (Al-Anbiya’: 25)
Dan firman Allah ta’ala,
قُلْ إِنَّمَا أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ وَلا أُشْرِكَ بِهِ إِلَيْهِ أَدْعُو وَإِلَيْهِ مَآبِ
“Katakanlah: Sesungguhnya aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Dia. Hanya kepada-Nya aku ajak (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali." (Ar-Ra’du: 36)
Dan ayat ini (An-Nahl: 36) mengandung makna “Laa ilaaha illallah”, karena ia mencakup penafikan dan penetapan sebagaimana yang dicakup oleh kalimat “Laa ilaaha illallah”, karena di dalam firman Allah ta’ala “Sembahlah Allah saja” adalah penetapan wajibnya beribadah hanya kepada Allah, dan firman Allah ta’ala “Jauhilah thaghut (yang disembah selain Allah) itu" adalah penafikan semua sesembahan selain Allah ta’ala.
Maka ayat ini menunjukkan bahwa di dalam Islam harus ada penafikan dan penetapan, yaitu menetapkan ibadah hanya kepada Allah saja dan menafikan (menganggap salah dan batil) peribadahan kepada selain-Nya.
Inilah tauhid yang dikandung dalam surat (Al-Kaafirun) “Katakanlah wahai orang-orang kafir…” dan inilah makna firman Allah ta’ala,
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqoroh: 256)
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
وطريقة القرآن في مثل هذا أن يقرن النفي بالإثبات، فينفي عبادة ما سوى الله، ويثبت عبادته، وهذا هو حقيقة التوحيد، والنفي المحض ليس بتوحيد، وكذلك الإثبات بدون النفي، فلا يكون التوحيد إلا متضمنًا للنفي والإثبات، وهذا حقيقة لا إله إلا الله. انتهى.
“Metode Al-Qur’an pada yang semisal ini adalah menafikan dan menetapkan, maka Al-Qur’an menafikan peribadahan kepada selain Allah dan menetapkan ibadah hanya kepada-Nya, inilah hakikat tauhid. Adapun menafikan saja bukanlah tauhid, demikian pula menetapkan saja bukanlah tauhid, maka tauhid itu tidak dapat terealisasikan kecuali harus mencakup penafikan dan penetapan, inilah hakikat “Laa ilaaha illallah” (Selesai Penukilan).” [Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 32]
• Adapun makna thagut, secara bahasa berasal dari (الطغيان) artinya adalah (مجاوزة الحد); melampaui batas (Lihat Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 31).
Adapun penafsirannya, banyak penukilan dari para ulama Salaf, namun intinya thagut adalah segala sesuatu yang disembah selain Allah ta’ala dan ia ridho dengan penyembahan terhadapnya, sebagaimana dikatakan Al-Imam Malik rahimahullah,
الطاغوت: كل ما عبد من دون الله
“Thagut adalah semua yang disembah selain Allah.” [Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 31]
Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah rahimahullah mengomentari,
وهو صحيح، لكن لا بد فيه من استثناء مَنْ لا يرضى بعبادته
“Itu benar, akan tetapi mesti ada pengecualiaan terhadap orang yang tidak ridho dengan penyembahan terhadapnya.” [Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 31]
Artinya, walaupun orang yang menyembahnya telah menjadikannya sebagai thagut, namun hakikatnya ia bukanlah thagut karena ia tidak ridho dengan penyembahan terhadapnya, namun mereka tetap dihukumi sebagai penyembah thagut.
Oleh karena itu, para wali, nabi maupun malaikat, tidak pernah ridho dengan orang-orang yang berdoa kepada mereka, apakah dengan maksud memohon hajat ataukah dengan dalih ‘tawassul’, yaitu menjadikan mereka sebagai perantara agar doanya diteruskan kepada Allah ta’ala, karena itu termasuk perbuatan syirik besar (berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ ulama) yang akan menyebabkan pelakunya murtad; keluar dari Islam dan kekal di neraka apabila tidak bertaubat sebelum mati. Na’udzu billaahi min dzaalik.
Dan makna thagut yang lebih mencakup adalah definisi yang dikatakan Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah,
الطاغوت ما تجاوز به العبد حده من معبود أو متبوع أو مطاع
“Thagut adalah hamba yang melampaui batas, baik yang disembah, diikuti atau ditaati.” [Taysirul ‘Azizil Hamid, hal. 32]
• Thagut yang disembah seperti patung-patung, berhala-berhala dan lain-lain.
• Thagut yang diikuti seperti para dukun, tukang sihir dan ulama yang jelek.
• Thagut yang ditaati seperti para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Allah ta'ala; yang ditaati dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
(Lihat Al-Qoulul Mufid. 1/29)
2) Ayat yang mulia ini juga menunjukkan bahwa agama para nabi seluruhnya adalah satu, sejak Nabi Adam ‘alaihissalaam sampai nabi akhir zaman Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, yaitu mentauhidkan Allah tabaraka wa ta’ala, meski aturan-aturan hukum syari’at mereka berbeda-beda. Allah ta’ala berfirman,
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً
“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” [Al-Maidah: 48]
Akan tetapi sebagian umat para nabi tersebut telah merubah-rubah agama para nabi menjadi penyembahan terhadap selain Allah subhanahu wa ta’ala, diantaranya yang dilakukan oleh Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam diutus kepada mereka dan kepada seluruh umat untuk mengajak mereka kembali mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana firman-Nya,
قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلَّا نَعْبُدَ إِلَّا اللَّهَ وَلَا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلَا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُولُوا اشْهَدُوا بِأَنَّا مُسْلِمُونَ
“Katakanlah: "Wahai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak ada yang pantas kita sembah kecuali Allah dan tidak boleh kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai sesembahan selain Allah.” Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)." [Ali Imron: 64]
3) Tauhid inilah misi dakwah seluruh para nabi dan rasul ‘alaihimussalaam, karena tauhid adalah pondasi awal bangunan keimanan, maka wajib mempelajari, mengamalkan dan mendakwahkan tauhid serta mengutamakannya sebelum yang lainnya.
Barangsiapa tidak mengutamakannya dan melalaikannya maka ia telah menyimpang dari jalan dakwahnya para nabi dan rasul ‘alaihimussalaam, serta menyelisihi manhaj Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat radhiyallahu’anhum, diantaranya;
• Kelompok yang selalu meneriakkan 'khilafah' dan melalaikan dakwah tauhid serta tidak memberantas kesyirikan, padahal syarat meraih kekuasaan adalah beriman kepada Allah dan beramal shalih; menegakkan tauhid dan sunnah.
• Kelompok yang mengajak untuk menegakkan 'syari'at' tapi melalaikan tauhid yang merupakan syari'at tertinggi.
• Kelompok yang mengajak sholat dan ibadah-ibadah yang lainnya tapi melalaikan tauhid yang merupakan pondasi atau syarat diterimanya ibadah itu sendiri.
• Kelompok yang mengajak "jihad" tapi melalaikan dakwah tauhid yang merupakan modal utama berjihad dan dakwah para mujahidin yang sejati, yaitu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu'anhum.
• Kelompok yang mengak kepada akhlak mulia, pembersihan hati dan manajemen qolbu, tapi lalai dengan tauhid yang merupakan akhlak tertinggi kepada Allah ta'ala dan kunci kesucian hati.
• Kelompok yang menggembosi dakwah tauhid dan sunnah dengan perselisihan dan perpecahan.
• Kelompok yang mengajak kepada syirik dan bid'ah.
Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata,
التَّوْحِيدُ أَوَّلُ دَعْوَةِ الرُّسُلِ، وَأَوَّلُ مَنَازِلِ الطَّرِيقِ، وَأَوَّلُ مَقَامٍ يَقُومُ فِيهِ السَّالِكُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى: قَالَ تَعَالَى: {لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ} [الأعراف: 59] وَقَالَ هُودٌ لِقَوْمِهِ: {اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ} [الأعراف: 65] وَقَالَ صَالِحٌ لِقَوْمِهِ: {اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ} [الأعراف: 73] وَقَالَ شُعَيْبٌ لِقَوْمِهِ: {اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ} [الأعراف: 85] وَقَالَ تَعَالَى: {وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ} [النحل: 36] .
فَالتَّوْحِيدُ: مِفْتَاحُ دَعْوَةِ الرُّسُلِ، وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِرَسُولِهِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - وَقَدْ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ - «إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ: عِبَادَةُ اللَّهِ وَحْدَهُ، فَإِذَا شَهِدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ» وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَقَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ»، وَلِهَذَا كَانَ الصَّحِيحُ: أَنَّ أَوَّلَ وَاجِبٍ يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، لَا النَّظَرُ، وَلَا الْقَصْدُ إِلَى النَّظَرِ، وَلَا الشَّكُّ - كَمَا هِيَ أَقْوَالٌ لِأَرْبَابِ الْكَلَامِ الْمَذْمُومِ.
فَالتَّوْحِيدُ: أَوَّلُ مَا يَدْخُلُ بِهِ فِي الْإِسْلَامِ، وَآخِرُ مَا يَخْرُجُ بِهِ مِنَ الدُّنْيَا، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؛ دَخَلَ الْجَنَّةَ» ، فَهُوَ أَوَّلُ وَاجِبٍ، وَآخِرُ وَاجِبٍ، فَالتَّوْحِيدُ: أَوَّلُ الْأَمْرِ وَآخِرُهُ.
فَالتَّوْحِيدُ: مِفْتَاحُ دَعْوَةِ الرُّسُلِ، وَلِهَذَا قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - لِرَسُولِهِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - وَقَدْ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ - «إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ: عِبَادَةُ اللَّهِ وَحْدَهُ، فَإِذَا شَهِدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ» وَذَكَرَ الْحَدِيثَ وَقَالَ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ»، وَلِهَذَا كَانَ الصَّحِيحُ: أَنَّ أَوَّلَ وَاجِبٍ يَجِبُ عَلَى الْمُكَلَّفِ: شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، لَا النَّظَرُ، وَلَا الْقَصْدُ إِلَى النَّظَرِ، وَلَا الشَّكُّ - كَمَا هِيَ أَقْوَالٌ لِأَرْبَابِ الْكَلَامِ الْمَذْمُومِ.
فَالتَّوْحِيدُ: أَوَّلُ مَا يَدْخُلُ بِهِ فِي الْإِسْلَامِ، وَآخِرُ مَا يَخْرُجُ بِهِ مِنَ الدُّنْيَا، كَمَا قَالَ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: «مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؛ دَخَلَ الْجَنَّةَ» ، فَهُوَ أَوَّلُ وَاجِبٍ، وَآخِرُ وَاجِبٍ، فَالتَّوْحِيدُ: أَوَّلُ الْأَمْرِ وَآخِرُهُ.
“Tauhid adalah awal dakwah para rasul, landasan pertama dalam perjalanan dan awal pijakan bagi orang yang menuju Allah subhanahu wa ta’ala.
• Allah ta’ala berfirman (tentang Nabi Nuh ‘alaihissalaam),
لَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: "Wahai kaumku sembahlah Allah saja, sekali-kali tak ada sesembahan yang benar bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat).” (Al-A’raf: 59)
• Nabi Hud ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya,
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
"Wahai kaumku sembahlah Allah saja, sekali-kali tak ada sesembahan yang benar bagimu selain-Nya." (Al-A’raf: 65)
• Nabi Shalih ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya,
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
"Wahai kaumku sembahlah Allah saja, sekali-kali tak ada sesembahan yang benar bagimu selain-Nya." (Al-A’raf: 73)
• Nabi Syu’aib ‘alaihissalam berkata kepada kaumnya,
اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
"Wahai kaumku sembahlah Allah saja, sekali-kali tak ada sesembahan yang benar bagimu selain-Nya." (Al-A’raf: 85)
• Dan Allah ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah saja, dan jauhilah thaghut (yang disembah selain Allah) itu." (An-Nahl: 36)
•[Tauhid adalah Misi Dakwah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan Sahabat radhiyallahu’anhum]•
Maka tauhid adalah kunci dakwah para rasul, oleh karena itu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam berpesan kepada utusan beliau (untuk berdakwah di Negeri Yaman) Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,
إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ، فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ: عِبَادَةُ اللَّهِ وَحْدَهُ، فَإِذَا شَهِدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي الْيَوْمِ وَاللَّيْلَةِ
“Sesungguhnya engkau akan mendatangi satu kaum Ahli Kitab, maka hendaklah pertama yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah beribadah kepada Allah yang satu saja, apabila mereka telah bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka untuk sholat lima waktu dalam sehari semalam...” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma)
Dan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
• Oleh karena itu yang benar adalah, awal kewajiban yang ditetapkan atas mukallaf adalah persaksian bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah, bukan meneliti, bukan pula bermaksud meneliti, tidak diragukan lagi bukan itu, seperti ucapan-ucapan ahlul kalam (ahli filsafat) yang tercela.
• Maka tauhid adalah pintu pertama untuk masuk ke dalam Islam dan pintu terakhir untuk keluar dari dunia, sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؛ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa akhir ucapannya “Laa ilaaha illallah” ia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud dari Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu, Shahihul Jaami': 6470)
Maka tauhid adalah kewajiban pertama dan kewajiban terakhir; awal perkara dan akhirnya.” [Madaarijus Saalikin, 3/411-412]
Al-Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi rahimahullah berkata,
بَلْ أَئِمَّةُ السَّلَفِ كُلُّهُمْ مُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ أَوَّلَ مَا يُؤْمَرُ بِهِ الْعَبْدُ الشَّهَادَتَانِ، وَمُتَّفِقُونَ عَلَى أَنَّ مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ قَبْلَ الْبُلُوغِ لَمْ يُؤْمَرْ بِتَجْدِيدِ ذلك عقب بُلُوغِهِ، بَلْ يُؤْمَرُ بِالطَّهَارَةِ وَالصَّلَاةِ إِذَا بَلَغَ أَوْ مَيَّزَ عِنْدَ مَنْ يَرَى ذَلِكَ, وَلَمْ يُوجِبْ أَحَدٌ مِنْهُمْ عَلَى وَلِيِّهِ أَنْ يُخَاطِبَهُ حِينَئِذٍ بِتَجْدِيدِ الشَّهَادَتَيْنِ، وَإِنْ كَانَ الْإِقْرَارُ بِالشَّهَادَتَيْنِ وَاجِبًا بِاتِّفَاقِ الْمُسْلِمِينَ، وَوُجُوبُهُ يَسْبِقُ وُجُوبَ الصَّلَاةِ، لَكِنْ هُوَ أَدَّى هَذَا الْوَاجِبَ قَبْلَ ذَلِكَ.
“Bahkan para imam Salaf seluruhnya sepakat bahwa yang pertama diperintahkan kepada seorang hamba adalah dua kalimat syahadat, dan mereka juga sepakat bahwa orang yang telah melakukannya sebelum baligh, tidak perlu diperintahkan lagi untuk memperbaharuinya setelah baligh, tetapi diperintahkan untuk bersuci dan sholat apabila ia telah baligh, atau mumayyiz menurut pendapat ulama yang lainnya, dan tidak ada seorang ulama pun yang mewajibkan atas walinya untuk memerintahkannya ketika sudah baligh agar memperbaharui ucapan dua kalimat syahadat, meski pun berikrar dengan dua kalimat syahadat adalah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin, dan kewajibannya mendahului kewajiban sholat, akan tetapi ia telah menunaikan kewajiban ini sebelum baligh.” [Syarhu Ath-Thahawiyyah, hal. 78]
4) Keutamaan berdakwah kepada tauhid, bahwa inilah dakwahnya orang-orang yang paling mulia dan paling dicintai Allah subhanahu wa ta'ala, yaitu seluruh nabi dan rasul ‘alaihimussalaam, termasuk Nabi kita yang mulia Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum ajma’in, maka siapa yang tidak mendakwahkan tauhid berarti ia belum meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah: Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku berdakwah (mengajak manusia untuk mentauhidkan) Allah di atas bashiroh (dengan ilmu), Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” [Yusuf: 108]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
أن من لم يدع إلى الله وهو يستطيع الدعوة إلى الله، فإنه لم يحقق إتباعه للرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بل إتباعه فيه نقص عظيم
“(Diantara pelajaran dari ayat ini) bahwa siapa yang tidak berdakwah kepada Allah padahal ia mampu berdakwah kepada Allah, maka ia belum merealisasikan ittiba’ (peneladanan) kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, bahkan dalam ittiba’nya terdapat kekurangan yang besar.” [I’aanatul Mustafid, 1/104]
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah juga pernah berkata dalam salah satu ceramah beliau,
إذا كان الله غفر للمراة البغي لما سقت الكلب الماء وهو يلهث وفي أمس الحاجة إليه فكيف بمن يسقي الناس التوحيد وهم في أمس الحاجة إليه
"Jika Allah mengampuni seorang wanita pelacur karena ia memberi minum seekor anjing yang kehausan dan sangat butuh minum, bagaimana dengan orang yang memberi minum (mengajarkan) tauhid kepada manusia dalam keadaan mereka sangat membutuhkannya."
• Akan tetapi metode dakwah para nabi dan rasul ‘alaihimussalaam bukanlah sembarang dakwah yang hanya bermodal semangat belaka atau kecemburuan (ghirah) terhadap agama, tetapi dengan ilmu dan ikhlas, barangsiapa berdakwah tapi tidak dibekali dengan ilmu atau tidak ikhlas, maka ia belum meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu’anhum.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
هذه الآية في آخر سورة يوسف، يأمر الله سبحانه وتعالى نبيه محمداً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أن يُعلن للناس عن بيان منهجه ومنهج أتباعه، وهو الدعوة إلى الله على بصيرة، فدل على أن من لم يدع على بصيرة فإنه لم يحقق اتباع النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وإن كان عالماً وفقيها
“Ayat ini terdapat di akhir surat Yusuf; Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam untuk mengumumkan kepada manusia tentang penjelasan manhaj beliau dan manhaj para pengikutnya, yaitu berdakwah kepada Allah dengan dasar ilmu, maka ini menunjukkan bahwa orang yang tidak berdakwah dengan dasar ilmu, berarti ia belum merealisasikan peneladanan kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, meskipun ia seorang yang berilmu lagi faqih.” [I’aanatul Mustafid, 1/101]
• Maka ayat yang mulia ini (Yusuf: 108) juga menjelaskan dua tonggak terpenting dalam dakwah;
Pertama: Ilmu, ini makna firman Allah, “Di atas bashiroh (dengan ilmu)”, bahkan bashiroh itu bermakna tingkatan ilmu yang tertinggi.
Kedua: Ikhlas, ini makna firman Allah di akhir ayat, “Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”, mencakup penafikan terhadap semua bentuk amalan yang tidak ikhlas untuk Allah semata.
• Ilmu yang dibutuhkan dalam dakwah mencakup tiga macam ilmu;
Pertama: Ilmu tentang apa yang didakwahkan, yaitu ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai Pemahaman Salaf, dan yang terpenting adalah ilmu tauhid.
Kedua: Ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi.
Ketiga: Ilmu tentang cara menyampaikan dakwah kepadanya.
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
فتضمنت هذه الدعوة الإخلاص والعلم; لأن أكثر ما يفسد الدعوة عدم الإخلاص، أو عدم العلم، وليس المقصود بالعلم في قوله: " على بصيرة " العلم بالشرع فقط، بل يشمل: العلم بالشرع، والعلم بحال المدعو، والعلم بالسبيل الموصل إلى المقصود، وهو الحكمة.
“Maka dakwah ini harus mencakup ikhlas dan ilmu, karena kebanyakan yang merusak dakwah adalah tidak ikhlas dan tidak ada ilmu. Dan bukanlah maksud ilmu dalam firman Allah, “Di atas bashiroh (dengan ilmu)”, hanyalah ilmu tentag syari’at saja, tetapi mencakup ilmu tentang syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi dan ilmu tentang metode yang dapat mengantarkan kepada tujuan, yaitu hikmah.” [Al-Qoulul Mufid, 1/130]
5) Peringatan dari bahaya kesyirikan, bahwa kesyirikan adalah penyelisihan dan penentangan terhadap dakwah para nabi dan rasul ‘alaihimussalaam, dan sejarah kehancuran para penentang dakwah para nabi dan rasul ‘alaihimussalaam haruslah memberikan pelajaran bagi kita, bahkan malapetaka besar yang pertama terjadi di muka bumi, yaitu banjir besar yang menghancurkan kaum Nabi Nuh ‘alaihissalaam; sebabnya karena mereka menyekutukan Allah ta’ala dan menentang dakwah tauhid yang beliau serukan.
Allah ta’ala berfirman tentang penentangan dan kehancuran mereka,
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا، وَقَدْ أَضَلُّوا كَثِيرًا وَلَا تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلَّا ضَلَالًا، مِمَّا خَطِيئَاتِهِمْ أُغْرِقُوا فَأُدْخِلُوا نَارًا فَلَمْ يَجِدُوا لَهُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْصَارًا.
“Dan (Nuh berkata bahwa) mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan kepada) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan kepada) wadd, dan jangan pula suwaa`, yaghuts, ya`uq dan nasr." Dan sungguh mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan. Disebabkan kesalahan-kesalahan mereka, maka mereka ditenggelamkan (di dunia), lalu (di akhirat kelak) dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak akan mendapat penolong-penolong bagi mereka selain dari Allah.” [Nuh: 23-25]
4) Tauhid adalah Ikatan Cinta yang Hakiki dan Abadi
Allah ta’ala berfirman,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” [Az-Zukhruf: 67]
Beberapa Pelajaran:
1) Dalam ayat yang mulia ini Allah ta’ala mengabarkan bahwa hubungan saling mencintai yang akan tetap kekal sampai hari kebangkitan hanyalah persaudaraan yang dibangun di atas dasar ketakwaan, dan sebesar-besarnya sifat orang yang bertakwa serta dasar dan pondasi ketakwaan adalah tauhid.
• Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
إِلَّا الْمُتَّقِينَ يعني الموحِّدين
“Kecuali orang-orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang mentauhidkan Allah.” [Zaadul Masir, 4/83]
• Asy-Syaikh Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahumallaah berkata,
“Diantara keistimewaan tauhid adalah, tauhid merupakan ikatan yang hakiki dan abadi yang akan terus berlanjut di dunia dan akhirat, dan tidak ada suatu ikatan di antara manusia secara mutlak yang semisal dengan ikatan tauhid, sebab ikatan antara orang-orang yang bertauhid dan beriman ini adalah iktatan yang abadi dan akan terus berlanjut selamanya di dunia dan akhirat,
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” [Az-Zukhruf: 67]
Dan Allah ta’ala berfirman di ayat yang lain,
وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ
“Dan (ketika) segala hubungan antara mereka (kaum musyrikin) terputus sama sekali.” [Al-Baqoroh: 166]
Maknanya, terputus semua keterkaitan dan hubungan; maka semua hubungan akan terputus, semua kecintaan akan pergi, semua ikatan akan berakhir, kecuali kecintaan, hubungan dan ikatan tauhid dan keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla.” [Min Ma’aalimit Tauhid, hal. 15]
2) Orang yang bertakwa adalah orang yang mentauhidkan Allah tabaraka wa ta’ala dan menjauhi semua bentuk kesyirikan dan kekafiran, karena tauhid adalah perintah Allah yang tertinggi dan syirik adalah larangan Allah yang terbesar.
• Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
وأعظم ما أمر الله به: التوحيد، وهو إفراد الله بالعبادة وأعظم ما نهى عنه: الشرك وهو دعوة غيره معه. والدليل قوله تعالى: {وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً}
“Perintah Allah yang teragung adalah tauhid, yaitu mengesakan Allah dalam ibadah, dan larangan Allah yang terbesar adalah syirik, yaitu beribadah kepada selain-Nya disamping beribadah kepada-Nya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئاً
“Dan beribadah hanya kepada Allah dan janganlah menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.” (An-Nisa: 36).” [Tsalatsatul Ushul wa Adillatuha, hal. 8]
• Oleh karena itu kalimat tauhid laa ilaaha illallah adalah kalimat takwa, mengamalkan kandungannya adalah pondasi ketakwaan dan puncaknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
إِذْ جَعَلَ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْحَمِيَّةَ حَمِيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى وَكَانُوا أَحَقَّ بِهَا وَأَهْلَهَا وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [Al-Fath: 26]
Dari Sahabat yang Mulia Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu,
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى} [الفتح: 26] قَالَ: «لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ».
“Dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam (tentang firman Allah ta’ala), “Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa” (Al-Fath: 26), Beliau bersabda: (Kalimat takwa adalah) Laa ilaaha illallah (Tidak ada sesembahan yang benar selain Allah).” [HR. At-Tirmidzi, Shahih wa Dha’if At-Tirmidzi: 3265]
Sahabat yang Mulia Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,
قوله (وَأَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوَى) يقول: شهادة أن لا إله إلا الله، فهي كلمة التقوى، يقول: فهي رأس التقوى.
“Firman Allah ta’ala, “Dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa”, maknanya adalah syahadat laa ilaaha illallah, itulah kalimat takwa, dan itulah pondasi setiap ketakwaan.” [Tafsir Ath-Thabari, 22/254 dan Tafsir Ibnu Katsir, 7/346]
3) Kewajiban mencintai dan menjalin persaudaraan serta larangan merusak hubungan baik dengan orang-orang yang beriman dan bertakwa, yaitu orang-orang yang benar-benar mentauhidkan Allah dan menjauhi kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan, bahkan kewajiban tersebut termasuk prinsip penting dalam agama dan pokok Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
• Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
مِنْ الْقَوَاعِدِ الْعَظِيمَةِ الَّتِي هِيَ مِنْ جِمَاعِ الدِّينِ: تَأْلِيفَ الْقُلُوبِ وَاجْتِمَاعَ الْكَلِمَةِ وَصَلَاحَ ذَاتِ الْبَيْنِ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ} وَيَقُولُ: {وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا} وَيَقُولُ: {وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}. وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ النُّصُوصِ الَّتِي تَأْمُرُ بِالْجَمَاعَةِ والائتلاف وَتَنْهَى عَنْ الْفُرْقَةِ وَالِاخْتِلَافِ. وَأَهْلُ هَذَا الْأَصْلِ: هُمْ أَهْلُ الْجَمَاعَةِ كَمَا أَنَّ الْخَارِجِينَ عَنْهُ هُمْ أَهْلُ الْفُرْقَةِ.
“Termasuk pondasi agama yang sangat agung, serta termasuk intisari agama adalah penyatuan hati, bersatunya kalimat dan baiknya hubungan, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَاتَّقُوا اللهَ وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ
“Sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (Al-Anfal: 1)
Dan firman Allah ta’ala,
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali Imron: 103)
Dan firman Allah ta’ala,
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Ali Imron: 105)
Dan nash-nash yang semisalnya, yang memerintahkan untuk berjama’ah dan bersatu serta melarang berpecah belah dan berselisih. Maka orang-orang yang mengamalkan prinsip ini, merekalah Ahlul Jama’ah, sebagaimana orang-orang yang tidak mengamalkannya adalaha ahlul furqoh (orang-orang yang suka berpecah belah).” [Majmu’ Al-Fatawa, 28/51]
Maka ini menunjukkan antara keimanan dan persaudaraan serta sifat kasih sayang terhadap orang-orang yang beriman saling terkait erat. Allah ta’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat: 10]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ المُؤْمِنَ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا
“Seorang mukmin dengan mukmin yang lain bagaikan sebuah bangunan, satu dengan yang lainnya saling menguatkan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِى تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi dan berlemah lembut di antara mereka bagaikan satu tubuh, apabila ada satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuh akan ikut merasa sakit hingga tidak bisa tidur dan merasa demam.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوَى هَا هُنَا وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling dengki, janganlah saling melakukan najasy (menawar suatu barang dengan harga yang tinggi padahal dia tidak niat membelinya tetapi hanya untuk memancing orang lain agar menawar dengan harga yang lebih tinggi), janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi, janganlah sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, maka janganlah dia menzaliminya, janganlah menghinanya, (dalam riwayat At-Tirmidzi: janganlah mengkhianatinya dan janganlah berdusta kepadanya) dan janganlah merendahkannya. Ketakwaan itu di sini, seraya beliau menunjuk ke dadanya tiga kali. Cukuplah seorang muslim dikatakan jelek apabila dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” [HR. Al-Imam Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
• Asy-Syaikh Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahumallah berkata,
كلَّما قوي إيمان الشَّخص قويت رحمته بإخوانه فقوَّتها في العبد من قوة إيمانه، وضعفها من ضعف إيمانه، وهـذا ظاهر في قوله عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: «مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ»، وذلك أنَّ إلـاهنا المقصود المعبود رحيم يحب الرحماء ودِيننا دين الرَّحمة، ونبيّنا نبيّ الرّحمة، وكتابنا القران كتاب الرحمة، والله نعت عباده المؤمنين فيه بقوله: {رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ}.
"Setiap kali menguat iman seseorang, menguat pula kasih sayangnya terhadap saudara-saudaranya seagama, karena kuatnya sifat kasih sayang berasal dari kekuatan imannya dan lemahnya sifat tersebut berasal dari kelemahan imannya. Ini jelas dalam sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ
“Perumpamaan kaum mukminin dalam hal saling mencintai, menyayangi dan berlemah lembut bagaikan satu tubuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma)
Demikian itu karena Allah yang kita sembah adalah Maha Penyayang; mencintai orang-orang yang penyayang, agama kita adalah agama kasih sayang, Nabi kita seorang yang penyayang, kitab kita Al-Qur’an adalah kitab kasih sayang, dan Allah mensifatkan hamba-hamba-Nya yang beriman dalam kitab-Nya dengan firman-Nya,
رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Mereka saling berkasih sayang di antara mereka.” (Al-Fath: 29).” [Fawaaid Mukhtashoroh min Mauqi’ Asy-Syaikh Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah]
• Oleh karena itu setan sangat bersungguh-sungguh untuk memecah belah kaum muslimin secara umum dan Ahlus Sunnah secara khusus, demi menghancurkan persaudaraan dan memutuskan tali kasih sayang di antara kaum mukminin, serta melemahkan dakwah mereka kepada tauhid dan memberantas kesyirikan; maka jangan mau jadi pembantu setan.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِى جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِى التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ
“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah (kaum muslimin) yang sholat di Jazirah Arab, akan tetapi dia belum putus asa untuk memecah belah di antara mereka.” [HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu’anhuma]
• Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata,
والتحريش الإغراء والمعنى أنه يجتهد في إفساد ما بينهم من التواصل ليقع التباغض
“At-Tahrisy (memecah belah) adalah memanas-manasi, maknanya adalah, setan berusaha sekuatnya untuk merusak hubungan antara kaum muslimin sehingga mereka saling membenci.” [Kasyful Musykil min Hadits Ash-Shahihain, 1/752]
• Al-Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan,
وَمَعْنَاهُ : أَيِس أَنْ يَعْبُدهُ أَهْل جَزِيرَة الْعَرَب ، وَلَكِنَّهُ سَعَى فِي التَّحْرِيش بَيْنهمْ بِالْخُصُومَاتِ وَالشَّحْنَاء وَالْحُرُوب وَالْفِتَن وَنَحْوهَا
“Dan maknanya, setan telah putus asa untuk disembah penduduk (muslim) Jazirah Arab, akan tetapi dia tetap berusaha memecah belah kaum muslimin dengan permusuhan, kebencian, peperangan, fitnah, dan semisalnya.” [Syarah Muslim, 17/156]
4) Keimanan dan ketakwaan adalah dasar utama dalam kecintaan dan loyalitas, inilah yang dimaksud cinta karena Allah tabaraka wa ta’ala, maka semakin seseorang beriman dan bertakwa kepada Allah subhanahu wa ta’ala; harus semakin dicintai dan dimuliakan, inilah ikatan iman yang paling kuat.
Adapun kecintaan dan loyalitas yang dibangun di atas dasar kelompok dan golongan, dan menafikkan atau tidak mengutamakan keimanan dan ketakwaan, maka itulah hizbiyyah jahiliyyah.
Dan manusia terbagi tiga dalam hal kecintaan dan kebencian kepada mereka:
• Pertama: Golongan yang kita cintai sepenuhnya, yaitu para nabi dan rasul serta seluruh pengikut mereka dengan baik.
• Kedua: Golongan yang kita cintai di satu sisi dan kita benci dari sisi yang lain, yaitu kaum mukminin yang melakukan dosa-dosa dan bid’ah-bid’ah.
• Ketiga: Golongan yang kita benci sepenuhnya, yaitu orang-orang kafir dan musyrik.
Inilah yang dimaksud cinta dan benci karena Allah subhanahu wa ta’ala.
• Pertama: Golongan yang kita cintai sepenuhnya, yaitu para nabi dan rasul serta seluruh pengikut mereka dengan baik.
• Kedua: Golongan yang kita cintai di satu sisi dan kita benci dari sisi yang lain, yaitu kaum mukminin yang melakukan dosa-dosa dan bid’ah-bid’ah.
• Ketiga: Golongan yang kita benci sepenuhnya, yaitu orang-orang kafir dan musyrik.
Inilah yang dimaksud cinta dan benci karena Allah subhanahu wa ta’ala.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أَوْثَقُ عُرَى الْإِيمَانِ الْمُوَالَاةُ فِي اللهِ، وَالْمُعَادَاةُ فِي اللهِ، وَالْحُبُّ فِي اللهِ، وَالْبُغْضُ فِي اللهِ
“Ikatan iman yang paling kuat adalah bersikap loyal karena Allah dan memusuhi karena Allah, cinta karena Allah dan benci karena Allah.” [HR. Ath-Thabrani dari Ibnu Abbas radhiyllahu’anhuma, Ash-Shahihah: 998]
5) Peringatan dari bahaya kesyirikan, kebid’ahan dan kemaksiatan, bahwa semua hubungan saling mencintai yang dibangun di atasnya akan terputus pada hari kiamat dan berubah menjadi permusuhan.
• Asy-Syaikh Al-Mufassir As-Sa’di rahimahullah berkata,
وإن الأخلاء يومئذ، أي: يوم القيامة، المتخالين على الكفر والتكذيب ومعصية الله، {بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ} لأن خلتهم ومحبتهم في الدنيا لغير الله، فانقلبت يوم القيامة عداوة.
“Sesungguhnya teman-teman akrab pada hari itu, yaitu hari kiamat; yang saling mencintai atas dasar kekafiran, pendustaan dan kemaksiatan kepada Allah, sebahagian mereka menjadi musuh bagi sebahagian yang lain, karena kedekatan dan kecintaan mereka di dunia untuk selain Allah ta’ala, maka pada hari kiamat berubah menjadi permusuhan.” [Tafsir As-Sa’di, 1/769]
• Dan kaum musyrikin akan saling menyalahkan, melaknat dan mengutuk pada hari kiamat, sebagaimana firman Allah tabaraka wa ta’ala,
وَقَالَ إِنَّمَا اتَّخَذْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْثَانًا مَوَدَّةَ بَيْنِكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُ بَعْضُكُمْ بِبَعْضٍ وَيَلْعَنُ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَمَأْوَاكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Dan berkata Ibrahim: Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia ini; kemudian di hari kiamat sebahagian kamu akan mengingkari sebahagian (yang lain) dan sebahagian kamu akan melaknat sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka, dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun.” [Al-Ankabut: 25]
Dan firman Allah jalla wa ‘ala,
قَالَ ادْخُلُوا فِي أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ فِي النَّارِ كُلَّمَا دَخَلَتْ أُمَّةٌ لَعَنَتْ أُخْتَهَا حَتَّى إِذَا ادَّارَكُوا فِيهَا جَمِيعًا قَالَتْ أُخْرَاهُمْ لِأُولَاهُمْ رَبَّنَا هَؤُلَاءِ أَضَلُّونَا فَآتِهِمْ عَذَابًا ضِعْفًا مِنَ النَّارِ قَالَ لِكُلٍّ ضِعْفٌ وَلَكِنْ لَا تَعْلَمُونَ وَقَالَتْ أُولَاهُمْ لِأُخْرَاهُمْ فَمَا كَانَ لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْسِبُونَ
“Allah berfirman: “Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu. Setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk kawannya (yang menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya, berkatalah orang-orang yang masuk kemudian di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu: "Ya Rabb kami, mereka telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka". Allah berfirman: "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak mengetahui". Dan berkata orang-orang yang masuk terdahulu di antara mereka kepada orang-orang yang masuk kemudian: "Kamu tidak mempunyai kelebihan sedikit pun atas kami, maka rasakanlah siksaan karena perbuatan yang telah kamu lakukan".” [Al-A’rof: 38-39]
Dan firman Allah ta’ala dzikruhu,
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
“Pada hari ketika wajah mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar".” [Al-Ahzab: 66-68]
Dan firman Allah ‘azza wa jalla,
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الأسْبَابُ وَقَالَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا لَوْ أَنَّ لَنَا كَرَّةً فَنَتَبَرَّأَ مِنْهُمْ كَمَا تَبَرَّءُوا مِنَّا كَذَلِكَ يُرِيهِمُ اللَّهُ أَعْمَالَهُمْ حَسَرَاتٍ عَلَيْهِمْ وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ
“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan ke luar dari api neraka.” [Al-Baqoroh: 166-167]
• Bahkan seorang pendosa lagi kafir benar-benar berkeinginan agar orang-orang yang dulu sangat ia cintai dan rela berkorban untuk mereka ketika di dunia; dapat menjadi tumbal untuk menggantikannya di neraka agar ia selamat dari azab yang sangat pedih. Allah ta’ala berfirman,
وَلا يَسْأَلُ حَمِيمٌ حَمِيمًا * يُبَصَّرُونَهُمْ يَوَدُّ الْمُجْرِمُ لَوْ يَفْتَدِي مِنْ عَذَابِ يَوْمِئِذٍ بِبَنِيهِ وَصَاحِبَتِهِ وَأَخِيهِ * وَفَصِيلَتِهِ الَّتِي تُؤْوِيهِ * وَمَنْ فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ يُنْجِيهِ
“Dan tidak ada seorang teman akrab pun menanyakan temannya, Sedang mereka saling melihat. Orang kafir ingin kalau sekiranya dia dapat menebus (dirinya) dari azab hari itu dengan anak-anaknya, Dan istrinya dan saudaranya, Dan kaum familinya yang melindunginya (di dunia). Dan orang-orang di atas bumi seluruhnya, kemudian (mengharapkan) tebusan itu dapat menyelamatkannya.” [Al-Ma’arij: 10-14]
5) Tauhid Sesuai dengan Fitrah dan Akal Sehat
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Dia mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Rabbmu (satu-satunya yang pantas disembah)?" Mereka menjawab: "Betul, kami bersaksi".” [Al-A’rof: 172]
Beberapa Pelajaran:
1) Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa fitrah, tabiat dasar manusia diciptakan dalam keadaan beriman kepada Allah ta’ala sebagai satu-satunya Rabb yang pantas disembah.
• Al-Imam Abu Ja’far Ath-Thobari rahimahullah berkata,
يقول تعالى ذكره لنبيه محمد صلى الله عليه وسلم: واذكر يا محمد ربَّك إذ استخرج ولد آدم من أصلاب آبائهم، فقرَّرهم بتوحيده، وأشهد بعضهم على بعض شهادَتَهم بذلك، وإقرارَهم به.
“(Tafsir ayat ini), Allah ta’ala dzikuruhu berfirman kepada Nabi-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam: Wahai Muhammad, ingatlah ketika Rabbmu mengeluarkan anak Adam (manusia) dari sulbi orang tua mereka, maka Allah menetapkan bagi mereka kewajiban mentauhidkan-Nya, dan Allah mempersaksikan antara mereka satu dengan yang lainnya terhadap persaksian dan pengakuan mereka tersebut.” [Tafsir Ath-Thobari, 13/222]
• Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
يُخْبِرُ تَعَالَى أَنَّهُ اسْتَخْرَجَ ذُرِّيَّةَ بَنِي آدَمَ مِنْ أَصْلَابِهِمْ، شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَنَّ اللَّهَ رَبُّهُمْ وَمَلِيكُهُمْ، وَأَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ كَمَا أَنَّهُ تَعَالَى فَطَرَهُمْ عَلَى ذَلِكَ وَجَبَلَهُمْ عَلَيْهِ.
“Allah ta’ala mengabarkan bahwa Dia telah mengeluarkan keturunan anak Adam dari sulbi-sulbi mereka dalam keadaan bersaksi atas diri-diri mereka sendiri bahwa Allah adalah Rabb dan Penguasa mereka, dan bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Dia, sebagaimana Allah telah menciptakan fitrah dan menetapkan tabiat dasar mereka dalam keadaan mentauhidkan-Nya.” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/500]
• Sebagaimana sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
أَخذ الله الْمِيثَاق من ظهر آدم بنعمان يَعْنِي عَرَفَة فَأخْرج من صلبه كل ذُرِّيَّة ذَرَاهَا فَنَثَرَهُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ كَالذَّرِّ ثُمَّ كَلَّمَهُمْ قِبَلًا قَالَ: (أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غافلين أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ المبطلون)
“Allah telah mengambil perjanjian dari punggung Adam di Na’man (Arafah), maka Allah mengeluarkan dari sulbinya setiap keturunan yang Allah ciptakan (sampai hari kiamat), lalu Allah menebarkannya di hadapannya seperti semut-semut, kemudian Allah berbicara di hadapan mereka:
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غافلين أَوْ تَقُولُوا إِنَّمَا أَشْرَكَ آبَاؤُنَا مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا ذُرِّيَّةً مِنْ بَعْدِهِمْ أَفَتُهْلِكُنَا بِمَا فَعَلَ المبطلون
"Bukankah Aku ini Rabbmu (satu-satunya yang pantas disembah)?" Mereka menjawab: "Betul, kami bersaksi". (Kami (Allah) lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)", atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Rabb sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu?" (Al-A’raf: 172-173).” [HR. Ahmad dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma, Ash-Shahihah: 1623]
• Al-‘Allamah Ali Al-Qori rahimahullah berkata,
الْإِقْرَارِ بِالرُّبُوبِيَّةِ، وَالِاعْتِرَافِ بِالْعُبُودِيَّةِ
“(Perjanjian mereka adalah) persaksian keimanan terhadap rububiyah Allah dan pengakuan keimanan terhadap kewajiban beribadah hanya kepada-Nya.” [Al-Mirqoh, 1/196]
2) Allah tabaraka wa ta’ala juga menegaskan pada ayat yang lain bahwa tauhid adalah fitrah manusia,
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Ar-Rum: 30]
• Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
يَقُولُ تَعَالَى: فَسَدِّدْ وَجْهَكَ وَاسْتَمَرَّ عَلَى الَّذِي شَرَعَهُ اللَّهُ لَكَ، مِنَ الْحَنِيفِيَّةِ مِلَّةِ إِبْرَاهِيمَ، الَّذِي هَدَاكَ اللَّهُ لَهَا، وَكَمَّلَهَا لَكَ غَايَةَ الْكَمَالِ، وَأَنْتَ مَعَ ذَلِكَ لَازِمْ فِطْرَتَكَ السَّلِيمَةَ، الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ الْخَلْقَ عَلَيْهَا، فَإِنَّهُ تَعَالَى فَطَرَ خَلْقَهُ عَلَى مَعْرِفَتِهِ وَتَوْحِيدِهِ، وَأَنَّهُ لَا إِلَهَ غَيْرَهُ، كَمَا تَقَدَّمَ عِنْدَ قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى}
“(Makna ayat ini), Allah ta’ala mengatakan: Maka luruskan wajahmu dan teruslah mengamalkan yang Allah syari’atkan untukmu, yaitu al-hanifiyyah (beribadah hanya kepada Allah ta’ala) yang merupakan agama Ibrahim, agama yang Allah berikan hidayah kepadamu dan menyempurnakannya untukmu dengan setinggi-tingginya, bersamaan dengan itu tetaplah pada fitrahmu yang bersih, yang Allah ciptakan makhluk menurut fitrah itu, karena sesungguhnya Allah menciptakan makhluk dalam keadaan mengenal-Nya dan mentauhidkan-Nya, dan mengimani bahwa tiada yang berhak disembah selain Dia, sebagaimana telah lewat penjelasan firman Allah ta’ala,
وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا
“Dan Dia mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Rabbmu (satu-satunya yang pantas disembah)?" Mereka menjawab: "Betul, kami bersaksi".” (Al-A’rof: 172).” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/313]
3) Peringatan dari bahaya syirik, bahwa syirik adalah penyimpangan dari fitrah yang suci lagi bersih serta akal yang sehat dan menuruti ajakan setan.
• Asy-Syaikh Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahumallah berkata,
“Adapun syirik adalah perbuatan yang keluar dan menyimpang dari fitrah, oleh karena itu terdapat sebuah hadits qudsi dalam Shahih Muslim, Allah ta’ala berfirman,
وَإِنِّي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ كُلَّهُمْ، وَإِنَّهُمْ أَتَتْهُمُ الشَّيَاطِينُ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِينِهِمْ
“Dan aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hunafa’ (berpaling dari syirik dan mentauhidkan Allah) seluruhnya, dan sesungguhnya setan-setan mendatangi mereka, lalu memalingkan mereka dari agama mereka.” (HR. Muslim dari ‘Iyadh bin Himar Al-Mujasyi’i radhiyallahu’anhu)
“Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hunafa’” maknanya di atas fitrah, yaitu tauhid. Namun setan mendatangi mereka, lalu memalingkan mereka, artinya menyesatkan mereka dari agama mereka (tauhid).”[Min Ma’alimit Tauhid, hal. 11-12]
• Tauhid sesuai akal yang sehat dan syirik adalah penyimpangan dari akal yang sehat. Asy-Syaikh Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahumallah berkata,
“Adapun kesesuaian tauhid dengan akal yang sehat adalah karena akal yang sehat, yang belum tersesat dan belum menyimpang, tidak akan pernah ridho terhadap selain tauhid dan tidak akan pernah menerima kecuali tauhid; adakah orang yang memiliki akal yang sehat meridhoi berbilangnya sesembahan?! Atau bergantung kepada kubah-kubah dan tanah kuburan yang disembah?!
أَأَرْبَابٌ مُتَفَرِّقُونَ خَيْرٌ أَمِ اللَّهُ الْوَاحِدُ الْقَهَّارُ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا أَسْمَاءً سَمَّيْتُمُوهَا أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ بِهَا مِنْ سُلْطَانٍ
“Manakah yang baik, sesembahan-sesembahan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Tidaklah yang kamu sembah selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu.” (Yusuf: 39-40).” [Min Ma’alimit Tauhid, hal. 13]
4) Peringatan untuk menjaga tauhid dan hendaklah waspada dari tipu daya setan yang akan terus berusaha menjerumuskan manusia ke dalam syirik dan kufur, oleh karena itu sangat penting bagi manusia untuk menuntut ilmu agama, terutama ilmu tauhid.
• Al-Hafiz Ibnu Rajab rahimahullah berkata,
فَإِنَّ اللَّهَ خَلَقَ بَنِي آدَمَ، وَفَطَرَهُمْ عَلَى قَبُولِ الْإِسْلَامِ، وَالْمَيْلِ إِلَيْهِ دُونَ غَيْرِهِ، وَالتَّهَيُّؤِ لِذَلِكَ، وَالِاسْتِعْدَادِ لَهُ بِالْقُوَّةِ، لَكِنْ لَا بُدَّ لِلْعَبْدِ مِنْ تَعْلِيمِ الْإِسْلَامِ بِالْفِعْلِ، فَإِنَّهُ قَبْلَ التَّعْلِيمِ جَاهِلٌ لَا يَعْلَمُ شَيْئًا كَمَا قَالَ عَزَّ وَجَلَّ: {وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا} وَقَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى}، وَالْمُرَادُ: وَجَدَكَ غَيْرَ عَالِمٍ بِمَا عَلَّمَكَ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ، كَمَا قَالَ تَعَالَى: {وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ}
“Sungguh Allah telah menciptakan anak Adam dan menetapkan fitrah mereka dalam keadaan siap menerima Islam, condong kepadanya tidak kepada selainnya, cenderung kepadanya dan siap menerimanya dengan kekuatan, akan tetapi harus disertai dengan amalan menuntut ilmu Islam, karena sebelum belajar ia adalah orang bodoh yang tidak mengetahui apa pun, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla,
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun.” (An-Nahl: 78)
Dan firman Allah ta’ala kepada Nabi-Nya shallallahu’alaihi wa sallam,
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَى
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang tidak mendapat petunjuk, lalu Dia memberikan petunjuk (kepadamu).” (Adh-Dhuhaa: 7)
Maksudnya, Dia mendapatimu sebagai orang yang tidak berilmu tentang apa yang Dia ajarkan kepadamu, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana firman-Nya,
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apa itu Al-Kitab (Al-Qur'an) dan tidak pula mengetahui apa itu iman.” (Asy-Syuro: 52).” [Jaami’ul ‘Uluumi wal Hikam, 2/39]
5) Peringatan keras bagi setiap orang tua dan pendidik untuk menjaga tauhid anak keturunan mereka, karena bisa jadi, orang terdekat yang paling menyayangi seorang anak justru sebagai setan-setan yang menyesatkan, sadar atau tidak.
• Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau Nasrani atau Majusi.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]
• Asy-Syaikh Abdur Rozzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahumallah berkata,
“Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam hasits tersebut,
فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ، أَوْ يُنَصِّرَانِهِ، أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau Nasrani atau Majusi.”
Beliau tidak berkata,
أَوْ يُسَلمانِهِ
“Atau menjadikannya seorang Muslim (bertauhid)”.
Sebab ia telah tumbuh dan terlahir di atas fitrah (tauhid), maka tauhid adalah agama fitrah, adapun kesyirikan dan kebatilan serta kesesatan yang lainnya, semua itu bertentangan dan berseberangan dengan fitrah manusia.” [Min Ma’alimit Tauhid, hal. 13]
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Source:
• Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik #1 (Tauhid adalah Jaminan Keselamatan di Dunia dan Akhirat):
• Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik #2 (Tauhid adalah Tujuan dan Hikmah Penciptaan Makhluk):
• Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik #3 (Tauhid adalah Misi Dakwah Seluruh Nabi dan Rasul ‘Alaihimussalaam):
• Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik #4 (Tauhid adalah Ikatan Cinta yang Hakiki dan Abadi):
• Keutamaan Tauhid dan Bahaya Syirik #5 (Tauhid Sesuai dengan Fitrah dan Akal Sehat):
Post a Comment