Faidah Dalam “Keinginan Buruk”
Rasulullāh ﷺ pernah bersabda:
“Jika seseorang ingin melakukan keburukan, tapi dia tidak jadi melakukannya, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna”. [HR. Bukhori Muslim].
Keinginan untuk melakukan keburukan ada beberapa keadaan:
Pertama: jika seseorang ingin melakukan keburukan, dan ia bertekad bulat dalam hatinya untuk melakukan keburukan itu, bukan terbetik dalam hati saja. Tapi kemudian dia mengoreksi dirinya, dan akhirnya dia meninggalkan keburukan itu karena Allāh ﷻ.
Maka orang seperti ini diberi pahala, dan dicatat baginya satu kebaikan yang sempurna, karena dia meninggalkan keburukan itu karena Allah.
Kedua: jika seseorang ingin melakukan keburukan dan dia bertekad melakukannya, namun akhirnya dia tidak mampu melakukannya, tanpa ada usaha untuk melakukan langkah² menuju ke sana.
Seperti orang yang dikabarkan oleh Nabi -shallallahu alaihi wasallam- bahwa dia mengatakan: “seandainya aku punya harta seperti harta si fulan, maka aku akan melakukan apa yang dia lakukan”, padahal si fulan tersebut adalah orang yang biasa menghambur-hamburkan hartanya.
Maka orang ini, dicatat baginya satu keburukan, tapi dia tidak seperti pelaku keburukan, karena yang ditulis dosa niatnya (saja).
Ketiga: jika seseorang ingin melakukan keburukan, dan dia telah berusaha untuk mewujudkannya, tapi tidak mampu = maka dicatat baginya dosa keburukan secara sempurna.
Dalilnya adalah sabda Nabi ﷺ: “Jika dua muslim berhadapan dengan dua pedangnya, maka pembunuh dan korbannya di neraka (semua)”. Para sahabat bertanya: ya Rasulullah, pembunuhnya ini (sudah jelas di neraka), lalu mengapa korbannya (juga di neraka)? Beliau menjawab: “Karena korbannya itu juga telah berusaha membunuh temannya”. Maka dicatat baginya hukuman sebagai pembunuh.
Keempat: jika seseorang ingin melakukan keburukan, kemudian dia meninggalkannya, bukan karena Allah, bukan pula karena tidak mampu.
Maka ini tidak ada pahala baginya dan juga tidak ada dosa atasnya. Dia tidak diberi pahala, karena dia meninggalkannya bukan karena Allah. Dia tidak diberi hukuman, karena dia belum melakukan perbuatan yg bisa mendatangkan hukuman.
[Diringkas dari penjelasan Syeikh Utsaimin -rohimahulloh- dalam kitabnya Syarah Arbain Nawawi, hal: 400-401].
Silahkan dishare…
semoga bermanfaat…
Ustādz Musyaffa ad-Dariny, MA hafidzahullāh.
Post a Comment