Fatwa Ulama Seputar Ihdaad [masa berkabung bagi wanita]
Hukum Ihdaad dan Iddah
Pertanyaan: Apakah hukum menjalani masa berkabung (al-ihdaad) dan masa iddah?
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh rahimahullahu menjawab:
Adapun al-ihdaad, ia adalah meninggalkan semua hal yang dapat menggoda lelakiuntuk menikahi seorang wanita. Dengan begitu, seorang wanita (yang ditinggal mati suaminya -pent.) wajib meninggalkan segala bentuk tata rias, dan segala macam wewangian juga minyak rambut yang berbau harum. Juga meninggalkan berbagai jenis perhiasan termasuk cincin dan yang semisalnya, dan tidak mengenakan pakaian berwarna-warni untuk mempercantik diri.
Tidak berarti ia harus mengenakan pakaian berwarna hitam. Ia bisa mengenakan pakaian sederhana apa saja, yang biasanya dipakai bukan untuk mempercantik diri. Demikian pula, ia tidak berias dengan make-up, bedak, celak dan pewarna yang digunakan sebagai kosmetik.
Hal demikian berdasarkan hadits-hadits yang shahih, seperti hadits Ummu ‘Athiah, ia berkata: “Dahulu kami dilarang untuk berkabung selama lebih dari tiga hari atas kematian seseorang, kecuali atas kematian suami, yaitu selama 4 bulan 10 hari. Kami tidak memakai celak, wangi-wangian, dan tidak mengenakan pakaian yang dicelup. Dan kami diberi keringanan untuk menggunakan sedikit wewangian dan dupa ketika telah suci dari haid dan melakukan mandi.”
Adapun al-iddah, ia adalah menjalani masa tunggu selama empat bulan sepuluh hari kalau sang istri tidak sedang hamil. Tapi jika ia dalam keadaan hamil maka masa iddahnya berakhir dengan kelahiran anaknya.
Istri wajib menjalani masa iddahnya di rumah yang ia tempati ketika suaminya meninggal. Tidak diperbolehkan baginya keluar dari kediamannya kecuali memang ada keperluan mendesak, seperti kalau ia khawatir jiwa dan hartanya akan terancam. Atau seperti jika si pemilik rumah mengusirnya tanpa ada pilihan lain baginya, atau yang semisal itu.
Bila ia keluar dari kediamannya dengan alasan yang tak dapat diterima menurut syariat, maka ia wajib kembali ke rumahnya untuk menyempurnakan iddahnya. Dan wanita yang sedang menjalani masa iddah tidak boleh keluar dari rumahnya pada malam hari. Ia juga hanya boleh bermalam di rumahnya.
Adapun pada siang hari, ia boleh keluar rumah untuk menunaikan keperluannya sendiri. Tidak boleh baginya keluar rumah untuk memenuhi keperluan orang lain, mengunjungi orang sakit, mengunjungi sanak famili ataupun teman, dan semisalnya. Jika ia memiliki pekerjaan di siang hari, seperti sebagai perawat dan semisalnya, maka tidak ada penghalang baginya untuk keluar di siang hari saat bertemu dengan wanita-wanita lain. Kemudian ia merawat pasien perempuan, anak-anak atau semisalnya. Ia menjauhi ikhtilath dengan kaum pria, berbincang-bincang dengan mereka atau khalwat dengan salah seorang dari mereka. Adapun bepergian jauh, maka ini tidak boleh ia lakukan kecuali setelah masa iddahnya selesai. Wallahul muwaffiq.
(Dinukil dari fatwa beliau 1/28 pada 10/1386 H, Fatawa dan Rosail milik Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh (11/161, 162).)
* * *
Keluarnya Wanita yang Sedang Ihdaad
Pertanyaan: Apakah wanita yang ditinggal mati suaminya, ketika pindah dari rumah suami ke rumah saudara laki-lakinya, kemudian mendapatkan tekanan dan perlakuan buruk di sana, apakah boleh ia pindah ke rumah anak-anak suaminya, atau ke rumah pamannya untuk menetap di sana?
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh rahimahullahu menjawab:
Alhamdulillah. Ia tidak boleh pindah dari rumah suaminya sampai masa iddahnya selesai, kecuali dengan udzur yang syar’i. Kalau ia pindah tanpa udzur syar’i maka ia harus kembali ke rumah yang telah ia tinggalkan sebelumnya. Namun kalau kepindahannya itu dengan udzur syar’i, maka ia boleh pindah dari rumah yang sekarang ia tempati, ke rumah anak suaminya ataupun yang lain. Dan hukum-hukum ihdaad lainnya tetap harus ia lakukan.
(Dinukil dari fatwa beliau 304 pada 21/3/1377 H, Fatawa dan Rosail milik Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh (11/162, 163).)
* * *
Keluar Rumah karena Mendesak
Pertanyaan: Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan masih dalam masa berkabung apakah ia boleh meninggalkan tempat di mana ia berada sekarang untuk suatu kebutuhan mendesak, walaupun hanya sekali saja?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:
Wanita yang ditinggal mati suaminya wajib menjalani masa tunggu atas kematian tersebut, di rumah tempat ia berada ketika suaminya itu meninggal dunia. Ia tidak boleh pindah dari rumah itu kecuali untuk keperluan mendesak, seperti kalau ia khawatir akan keselamatan jiwanya, atau ia pindah dari rumah itu secara dipaksa, atau bila rumah yang ditempati adalah rumah kontrakan yang masa kontraknya telah habis, atau alasan-alasan mendesak lainnya.
Dan ia tidak boleh keluar dari rumah itu untuk mengunjungi tetangga atau bekerja, kecuali bila keadaan mendesaknya untuk itu, maka ia boleh keluar rumah pada waktu siang, dan segera kembali ke rumah pada waktu malam. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam telah bersabda kepada seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya:
“Tetaplah engkau tinggal di rumahmu yang di sana engkau menerima kabar kematian suamimu, hingga selesai kewajiban iddahmu.” (Diriwayatkan oleh 5 imam (Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, An-Nasaa-i), dan hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi)
(Dinukil dari Fatawa Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan, 3/174)
* * *
Wanita yang Sedang Berkabung Pergi Haji
Pertanyaan: Seorang lelaki bertanya perihal ibunya yang sedang menjalani ihdaad, apakah ia boleh pergi haji? Ibunya ini berkata bahwa masa iddahnya baru akan selesai pada hari kedelapan bulan Dzuihijjah.
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh rahimahullahu menjawab:
Alhamdulillah. Wanita yang masih dalam masa iddah tidak boleh pergi untuk menunaikan ibadah haji, sebagaimana madzhab imam yang empat.
Adapun alasan yang diajukan, bahwa ia baru dibolehkan pergi haji pada hari tersebut, maka itu bukanlah alasan syar’i yang dapat membolehkan wanita yang sedang dalam masa ihdaad untuk bepergian.
(Dinukil dari fatwa beliau 161 pada 12/11/1374 H, Fatawa dan Rosail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh, 11/163)
* * *
Keluar Rumah untuk Mengajar atau Merawat Pasien
Pertanyaan: Apa hukum melakukan pekerjaan mengajar, merawat pasien, dan semisalnya bagi wanita yang sedang menjalani masa iddah?
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh rahimahullahu menjawab:
Kami sampaikan kepada anda bahwa tidak mengapa seorang wanita yang sedang menjalani masa iddah atas kematian suaminya keluar rumah pada siang hari untuk memenuhi keperluan-keperluannya yang mendesak, yang tidak dapat digantikan oleh orang lain. Misalnya, keluar rumah untuk melakukan pekerjaan yang menjadi kewajibannya seperti mengajar, merawat pasien dan pekerjaan-pekerjaan semisalnya yang khusus dilakukan oleh wanita dan tidak terkait dengan kaum pria. Hal ini seraya ia meninggalkan wangi-wangian dan pakaian untuk mempercantik diri dan semisalnya.
(Dinukil dari fatwa beliau 1/246 pada 21/1/1386 H, Fatawa dan Rosail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh, 11/164)
* * *
Keluar Rumah untuk Mengikuti Ujian Akhir Sekolah
Pertanyaan: Dari seorang laki-laki, tentang adik perempuannya yang ditinggal mati suaminya. Dan ia hendak melaksanakan ujian kelulusan untuk mendapatkan ijazah SMA, sedangkan dia dalam masa iddah. Ia meminta fatwa tentang tindakannya keluar rumah ke tempat ujian untuk melaksanakan ujian tersebut. Dan bahwa saudara laki-lakinya itulah yang akan mengantarnya sendiri dengan mobil, kemudian mengantarnya pulang ke rumah. Ruang ujiannya pun hanya dimasuki oleh perempuan. Dan ia keluar rumah dengan pakaian syar’i tanpa merias diri, serta hanya selama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan ujian.
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh rahimahullahu menjawab:
Alhamdulillah. Jika kondisinya memang seperti apa yang telah dijabarkan, maka yang zahir adalah bahwa ia boleh keluar dikarenakan hal-hal yang disebutkan tadi. Dan ia wajib untuk tetap menjalani hukum-hukum ihdad, mengikuti aturan dalam hal berpakaian, dan tidak berikhtilath dengan kaum pria, karena para ulama membolehkan wanita yang sedang menjalani ihdad untuk keluar rumah guna memenuhi kebutuhannya di siang hari kalau memamg tidak mungkin dilakukan oleh orang lain. Dan mengikuti ujian ini termasuk keperluannya yang paling penting. Wallahu a’lam.
(Dinukil dari fatwa beliau 1/804 pada 2/3/1389 H, Fatawa dan Rosail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh, 11/164, 165)
* * *
Menjalani Masa Iddah dan Ihdaad Lebih Lama
Pertanyaan: Tentang seorang wanita yang suaminya meninggal dunia. Wanita itu pun menjalani masa iddah dan ihdad selama empat bulan sepuluh hari. Namun tanpa sengaja dan karena lupa, ia menjalaninya dengan kelebihan dua hari. Apakah tambahan dua hari ini merusak masa iddah dan ihdad yang telah ia jalani atau tidak?
Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh rahimahullahu menjawab:
Kelebihan hari untuk waktu iddah dan ihdad tidaklah merusaknya. Ketika waktu itu telah menyelesaikan masa iddahnya, maka ia telah keluar dari iddah. Tambahan hari untuk iddah dan ihdad itu tidak boleh hanya kalau ia dilakukan dengan sengaja. Adapun orang yang mengerjakan hal itu karena lupa maka tidak mengapa baginya, dengan dalil firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala:
“(Mereka berdoa): Ya Rabb kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah.” (Al-Baqarah: 286)
Wallahu a’lam.
(Dinukil dari fatwa beliau 1/2128 pada 10/8/1384 H, Fatawa dan Rosail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalu Asy-Syaikh, 11/165, 166)
* * *
Pernikahan yang Fasid (tidak sah) dan Ihdad si Wanita
Pertanyaan: Apakah konsekuensi menjalani ihdad tetap berlaku bagi pernikahan yang fasid (tidak sah)?
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahumenjawab:
Ya, tetap berlaku. Karena pada nikah yang fasid itu diberlukan ketentuan-ketentuan yang sama dengan ketentuan-ketentuan pada pernikahan sah dalam sekian banyak hukumnya. Terkhusus hukum-hukum yang dituntut kehati-hatian tatkala menjalaninya. Dan melaksanakan konsekuensi ihdad ini termasuk realisasi dari sikap kehati-hatian tersebut.
(Al-Fatawa As-Sa’diah, hal. 540)
Sumber: Majalah Akhwat Shalihah vol. 13/1432 H/2011, hal. 91-95
Sumber: https://fadhlihsan.wordpress.com/2011/11/19/fatwa-ulama-seputar-ihdaad-masa-berkabung-bagi-wanita/
Post a Comment