Adab Islam Dalam Menaiki Kendaraan
Melihat perkembangan zaman yang sangat pesat, maka nikmat Allah yang diberikan kepada manusia begitu banyak sehingga mereka pun bisa membuat berbagai macam dan ragam kendaraan. Dahulu mereka cuma mengendarai binatang-binatang berupa keledai, kuda, dan lainnya. Kemudian mereka wujudkan semua itu dalam bentuk kendaraan yang lebih bagus, lebih kuat, lebih indah dan lebih cepat dengan adanya sepeda, motor, mobil, pesawat, dan lainnya. Allah -Ta’ala- berfirman,
“Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS. An-Nahl: 8).
Dengan adanya berbagai macam nikmat tersebut, hendaklah kita -sebagai orang-orang yang beriman-, senantiasa mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Bukan hanya mengingat bagaimana nikmatnya naik kendaraan, cepatnya sampai ke tujuan, dan bukan pula karena bagusnya kendaraan tersebut. Bahkan seyogyanya kita mengingat dan mensyukuri nikmat tersebut.
Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa dalam berkendaraan pun terdapat adab-adab. Nah, sebagai bukti kesyukuran kita terhadap nikmat-nikmat itu, maka kita dituntut untuk mengamalkan beberapa adab-adab yang syar’i ketika berkendaraan:
Mengingat Allah dan Berdo’a Saat Berkendaraan
Seorang dianjurkan ketika awal memulai perjalanan agar membaca do’a naik kendaraan yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada ummatnya. Hikmahnya agar kita selalu mengingat Allah yang telah menganugrahkan dan menundukkan bagi kita kendaraan tersebut. Adapun lafazh do’a naik kendaraan, berikut nashnya:
Ali bin Robi’ah berkata, Aku menyaksikan Ali -radhiyallahu ‘anhu- ; didatangkan suatu kendaraan (kepadanya) agar ia mengendarainya. Tatkala ia menginjakkan kakinya pada kendaraan, ia berkata, “Bismillah“. Tatkala beliau berada di atas punggungnya, beliau berkata, “Alhamdulillah“. Kemudia beliau berdo’a,
“Subhaanalladzi sakhkharo lanaa haadza wamaa kunna lahu muqriniin”
Kemudian beliau mengucapkan, “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali ; lalu mengucapkan,”Allahuakbar” sebanyak tiga kali. Lalu berdo’a,
Lalu Ali bin Abi Tholib tertawa. Beliau ditanya, “Kenapa Anda tertawa?” Beliau menjawab, “Aku telah melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melakukan apa yang aku lakukan, lalu beliau tertawa…”. [HR. Abu Dawud (2602), At-Tirmidziy (3446), dan An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8799, 8800, & 10336). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Mukhtashor Asy-Syama'il Al-Muhammadiyyah (198)]
Tidak Melanggar Peraturan ketika Berkendaraan
Wajib bagi kita untuk menaati peraturan-peraturan yang berlaku ketika berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang diwajibkan memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika berkendaraan (SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan lain-lain. Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai pengendara dan sebagai bentuk ketaatan kepada penguasa. Dalilnya adalah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa’: 56).
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Wajib Bagi seorang muslim untuk mendengar dan mentaati (penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia benci selama ia tidak diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat, maka tak boleh mendengar dan taat (kepada penguasa)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Ahkam (4/no. 6725) & Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)]
Al-Imam Abul ‘Ula Al-Mubarokfuriy-rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika penguasa memerintahkan perkara yang mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka wajib (ditaati). Al-Muthohhar berkata, “Maksudnya, mendengarkan dan mentaati ucapan penguasa adalah perkara wajib atas setiap muslim, sama saja apakah penguasa memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya ataukah tidak. Tapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh taat kepadanya (saat itu, –pent). Namun tak boleh baginya memerangi penguasa”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (5/298)]
Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk mentaatinya, walaupun memakai helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika penguasa memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi, memakai helm, atau SIM dan STNK saat berkendaraan adalah perkara yang wajib.
Seorang ulama kota Madinah dan mantan Rektor Islamic University of Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafizhahullah- dalam suatu majelisnya pernah menjelaskan bahwa mentaati lampu merah dan rambu-rambu yang dibuat oleh pemerintah di jalan-jalan adalah wajib, sekalipun hukum asalnya adalah mubah. Tapi hukumnya berubah karena ada perintah dari penguasa. Sedang jika penguasa memerintahkan sesuatu yang mubah atau sunnah, maka hukum perkara itu jadi wajib berdasarkan ayat dan hadits di atas !!
Tidak Ugal-ugalan di Jalan Raya
Seseorang hendaklah memperhatikan keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain ketika berkendara. Jangan sampai kita menjadi sebab tertumpahnya darah seseorang serta rusaknya harta saudara kita. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram (mulia) atas kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1218)]
Jadi, darah dan harta seorang muslim adalah haram kita ganggu, apalagi ditumpahkan dan dirusak, karena harta dan darah seorang muslim memiliki kemuliaan di sisi Allah.
Ada kebiasaan buruk menimpa sebagian tempat di Indonesia Raya, adanya sebagian pemuda yang ugal-ugalan memamerkan “kelincahan” (baca: kenakalan) mereka dalam mengendarai motor atau mobil di jalan raya. Ulah ugal-ugalan seperti ini bisa mengganggu, dan membuat takut bagi kaum muslimin yang berseliweran, dan berada dekat dengan TKP (tempat kejadian peristiwa). Bahkan terkadang mereka menabrak sebagian orang sehingga orang-orang merasa kaget dan takut lewat, karena mendengar suara dentuman knalpot mereka yang dirancang bagaikan suara meriam. Padahal di dalam Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita mengagetkan seorang muslim.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur sebagian sahabat yang menyembunyikan tongkat saudaranya sehingga ia panik,
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim”. [HR. Abu Dawud (5004). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Maram (447)]
Kagetnya sahabat yang tertidur ini akibat ulah temannya, jika dibanding dengan kaget, dan takutnya kaum muslimin yang lewat atau berada di lokasi balapan, maka kita bisa pastikan bahwa balapan liar seperti ini, hukumnya haram. Apalagi pemerintah sendiri melarang hal tersebut, karena menelurkan bahaya bagi diri mereka, dan masyarakat !!
Merawat Kendaraan dan tidak Membebani Melebihi Kapasitasnya
Kendaraan adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah kita merawatnya dengan baik dan bukan sekedar hanya memakainya sesuka hati. Sebagaimana binatang ternak yang kita miliki, kita tak boleh membebaninya lebih dari kemampuannya. Diantara wujud kesyukuran kita kepada Allah, kita harus menyayangi kendaraan –apakah berupa hewan atau bukan-, dan tidak membebaninya lebih kemampuannya.
Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, “Beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR.Muslim dalam Shohih-nya (342),dan Abu Dawud dalam As-Sunan ( 2549 ).
Jadi, seorang muslim tidak boleh membebani kendaraan lebih dari kemampuannya, sehingga ia letih atau rusak. Kita juga harus memperhatikan bensinnya, dan olie-nya sebagaimana halnya jika kendaraan berupa hewan, maka kita harus memperhatikan makanan, dan perawatannya. Kendaraan yang kita miliki harus kita rawat dengan baik; jangan dibiarkan terparkir di bawah terik matahari, tapi carilah naungan baginya. Jangan kalian bebani melebihi kapasitas kemampuan yang telah ditetapkan baginya.
Memperlambat Laju Kendaraan ketika Berjalan di Jalan yang Sempit (Lorong) dan Mempercepat ketika Berjalan di Jalan yang Lapang
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur seorang sahabat yang cepat dan tergesa-gesa dalam menuntun perjalanan para wanita yang menyertai Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- berhaji,
"Wahai Anjasyah, celaka engkau ! Pelanlah engkau dalam menuntun para wanita". [HR. Al-Bukhoriy (6149, 6161, 6202, & 6209), dan Muslim (2323)]
Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan penafsiran ulama tentang makna hadits ini, “Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini adalah pelan dalam berjalan, karena jika onta mendengar al-hida’ (nyanyian hewan), maka ia akan cepat dalam berjalan; onta akan merasa senang, dan membuat penumpangnya kaget, dan penat. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarangnya dari hal itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat kerasnya gerakan, dan beliau khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya mereka”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (15/81)]
Maka sepantasnya ketika berkendaraan, kita tenang dan tidak terburu-buru, karena terburu-buru itu datangnya dari setan. Boleh mempercepat kendaraan jika tidak melampaui batas sehingga ia dianggap terburu-buru, jika ada kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya.
Memberi Hak kepada Jalanan
Jalanan juga mempunyai hak-hak untuk kita penuhi. Karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berwasiat kepada para sahabatnya ketika seseorang duduk di pinggir jalan, “Waspadalah kalian ketika duduk di jalan-jalan”. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami harus berbicara di jalan-jalan. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka berikanlah haknya jalan”. Mereka bertanya, “Apa haknya jalan?” Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
“(Haknya jalan adalah) menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mugkar“. [HR. Al-Bukhoriy (6229), dan Muslim (2121)]
Jadi, haknya jalanan ada 5: menundukkan pandangan dari melihat perkara haram (seperti melihat kecantikan wanita yang bukan mahram), menghilangkan gangguan apa saja (misalnya, tidak buang sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda wanita, tidak menyakiti orang lain, dan lainnya); demikian pula menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum muslimin; memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu sholat, mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang mungkar (misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang bermaksiat di jalan, dan lainnya). Wallahu a’lam.
وَالْخَيْلَ وَالْبِغالَ وَالْحَمِيرَ لِتَرْكَبُوها وَزِينَةً وَيَخْلُقُ مَا لا تَعْلَمُونَ
“Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”. (QS. An-Nahl: 8).
Dengan adanya berbagai macam nikmat tersebut, hendaklah kita -sebagai orang-orang yang beriman-, senantiasa mengingat dan mensyukuri nikmat-nikmat tersebut. Bukan hanya mengingat bagaimana nikmatnya naik kendaraan, cepatnya sampai ke tujuan, dan bukan pula karena bagusnya kendaraan tersebut. Bahkan seyogyanya kita mengingat dan mensyukuri nikmat tersebut.
Oleh karena itu, perlu kita ingat bahwa dalam berkendaraan pun terdapat adab-adab. Nah, sebagai bukti kesyukuran kita terhadap nikmat-nikmat itu, maka kita dituntut untuk mengamalkan beberapa adab-adab yang syar’i ketika berkendaraan:
Mengingat Allah dan Berdo’a Saat Berkendaraan
Seorang dianjurkan ketika awal memulai perjalanan agar membaca do’a naik kendaraan yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- kepada ummatnya. Hikmahnya agar kita selalu mengingat Allah yang telah menganugrahkan dan menundukkan bagi kita kendaraan tersebut. Adapun lafazh do’a naik kendaraan, berikut nashnya:
Ali bin Robi’ah berkata, Aku menyaksikan Ali -radhiyallahu ‘anhu- ; didatangkan suatu kendaraan (kepadanya) agar ia mengendarainya. Tatkala ia menginjakkan kakinya pada kendaraan, ia berkata, “Bismillah“. Tatkala beliau berada di atas punggungnya, beliau berkata, “Alhamdulillah“. Kemudia beliau berdo’a,
“Subhaanalladzi sakhkharo lanaa haadza wamaa kunna lahu muqriniin”
Kemudian beliau mengucapkan, “Alhamdulillah” sebanyak tiga kali ; lalu mengucapkan,”Allahuakbar” sebanyak tiga kali. Lalu berdo’a,
سُبْحَانَكَ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فاَغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَايَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
Lalu Ali bin Abi Tholib tertawa. Beliau ditanya, “Kenapa Anda tertawa?” Beliau menjawab, “Aku telah melihat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah melakukan apa yang aku lakukan, lalu beliau tertawa…”. [HR. Abu Dawud (2602), At-Tirmidziy (3446), dan An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8799, 8800, & 10336). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy Al-Atsariy dalam Mukhtashor Asy-Syama'il Al-Muhammadiyyah (198)]
Tidak Melanggar Peraturan ketika Berkendaraan
Wajib bagi kita untuk menaati peraturan-peraturan yang berlaku ketika berkendaraan, seperti memakai helm pada tempat-tempat yang diwajibkan memakai helm, mempunyai surat-surat yang diperlukan ketika berkendaraan (SIM & STNK), berhenti ketika melihat lampu merah, dan lain-lain. Semua hal tersebut adalah kewajiban kita sebagai pengendara dan sebagai bentuk ketaatan kepada penguasa. Dalilnya adalah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. An-Nisaa’: 56).
Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
“Wajib Bagi seorang muslim untuk mendengar dan mentaati (penguasa) dalam perkara yang ia cintai dan ia benci selama ia tidak diperintahkan (melakukan) suatu maksiat. Jika ia diperintahkan bermaksiat, maka tak boleh mendengar dan taat (kepada penguasa)”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Al-Ahkam (4/no. 6725) & Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)]
Al-Imam Abul ‘Ula Al-Mubarokfuriy-rahimahullah- berkata, “Di dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwa jika penguasa memerintahkan perkara yang mandub (sunnah), dan mubah (boleh), maka wajib (ditaati). Al-Muthohhar berkata, “Maksudnya, mendengarkan dan mentaati ucapan penguasa adalah perkara wajib atas setiap muslim, sama saja apakah penguasa memerintahkannya untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya ataukah tidak. Tapi dengan syarat penguasa tidak memerintahkannya untuk berbuat maksiat. Jika ia diperintahkan berbuat maksiat, maka tidak boleh taat kepadanya (saat itu, –pent). Namun tak boleh baginya memerangi penguasa”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (5/298)]
Jika penguasa memerintahkan pakai helm atau SIM dan STNK, maka wajib bagi seorang muslim untuk mentaatinya, walaupun memakai helm, membuat SIM, dan STNK pada asalnya adalah mubah. Namun ketika penguasa memerintahkannya, maka hukumnya berubah menjadi wajib. Jadi, memakai helm, atau SIM dan STNK saat berkendaraan adalah perkara yang wajib.
Seorang ulama kota Madinah dan mantan Rektor Islamic University of Madinah, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad -hafizhahullah- dalam suatu majelisnya pernah menjelaskan bahwa mentaati lampu merah dan rambu-rambu yang dibuat oleh pemerintah di jalan-jalan adalah wajib, sekalipun hukum asalnya adalah mubah. Tapi hukumnya berubah karena ada perintah dari penguasa. Sedang jika penguasa memerintahkan sesuatu yang mubah atau sunnah, maka hukum perkara itu jadi wajib berdasarkan ayat dan hadits di atas !!
Tidak Ugal-ugalan di Jalan Raya
Seseorang hendaklah memperhatikan keselamatan dirinya dan keselamatan orang lain ketika berkendara. Jangan sampai kita menjadi sebab tertumpahnya darah seseorang serta rusaknya harta saudara kita. Padahal Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِنَّ دِمَاؤَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِيْ شَهْرِكُمْ هَذَا فِيْ بَلَدِكُمْ
“Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah haram (mulia) atas kalian seperti haramnya hari kalian ini, di bulan kalian ini, di negeri kalian ini”. [HR. Muslim dalam Shohih-nya (1218)]
Jadi, darah dan harta seorang muslim adalah haram kita ganggu, apalagi ditumpahkan dan dirusak, karena harta dan darah seorang muslim memiliki kemuliaan di sisi Allah.
Ada kebiasaan buruk menimpa sebagian tempat di Indonesia Raya, adanya sebagian pemuda yang ugal-ugalan memamerkan “kelincahan” (baca: kenakalan) mereka dalam mengendarai motor atau mobil di jalan raya. Ulah ugal-ugalan seperti ini bisa mengganggu, dan membuat takut bagi kaum muslimin yang berseliweran, dan berada dekat dengan TKP (tempat kejadian peristiwa). Bahkan terkadang mereka menabrak sebagian orang sehingga orang-orang merasa kaget dan takut lewat, karena mendengar suara dentuman knalpot mereka yang dirancang bagaikan suara meriam. Padahal di dalam Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang kita mengagetkan seorang muslim.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur sebagian sahabat yang menyembunyikan tongkat saudaranya sehingga ia panik,
لَايَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يُرَوِّعَ مُسْلِمًا
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk membuat takut seorang muslim”. [HR. Abu Dawud (5004). Di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ghoyah Al-Maram (447)]
Kagetnya sahabat yang tertidur ini akibat ulah temannya, jika dibanding dengan kaget, dan takutnya kaum muslimin yang lewat atau berada di lokasi balapan, maka kita bisa pastikan bahwa balapan liar seperti ini, hukumnya haram. Apalagi pemerintah sendiri melarang hal tersebut, karena menelurkan bahaya bagi diri mereka, dan masyarakat !!
Merawat Kendaraan dan tidak Membebani Melebihi Kapasitasnya
Kendaraan adalah nikmat dari Allah, maka hendaklah kita merawatnya dengan baik dan bukan sekedar hanya memakainya sesuka hati. Sebagaimana binatang ternak yang kita miliki, kita tak boleh membebaninya lebih dari kemampuannya. Diantara wujud kesyukuran kita kepada Allah, kita harus menyayangi kendaraan –apakah berupa hewan atau bukan-, dan tidak membebaninya lebih kemampuannya.
Seorang sahabat yang bernama Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- pernah berkata, “Beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا تَتَّقِي اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَّكَ اللهُ إِيَّاهَا فَإِنَّهُ شَكَى إِلَيَّ أَنَّكَ تُجِيْعُهُ وَتُدْئِبُهُ
“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR.Muslim dalam Shohih-nya (342),dan Abu Dawud dalam As-Sunan ( 2549 ).
Jadi, seorang muslim tidak boleh membebani kendaraan lebih dari kemampuannya, sehingga ia letih atau rusak. Kita juga harus memperhatikan bensinnya, dan olie-nya sebagaimana halnya jika kendaraan berupa hewan, maka kita harus memperhatikan makanan, dan perawatannya. Kendaraan yang kita miliki harus kita rawat dengan baik; jangan dibiarkan terparkir di bawah terik matahari, tapi carilah naungan baginya. Jangan kalian bebani melebihi kapasitas kemampuan yang telah ditetapkan baginya.
Memperlambat Laju Kendaraan ketika Berjalan di Jalan yang Sempit (Lorong) dan Mempercepat ketika Berjalan di Jalan yang Lapang
Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda ketika menegur seorang sahabat yang cepat dan tergesa-gesa dalam menuntun perjalanan para wanita yang menyertai Nabi -Shallallahu 'alaihi wa sallam- berhaji,
وَيْحَكَ يَا أَنْجَشَةُ رُوَيْدَكَ سَوْقَكَ بِالْقَوَارِيْرِ
"Wahai Anjasyah, celaka engkau ! Pelanlah engkau dalam menuntun para wanita". [HR. Al-Bukhoriy (6149, 6161, 6202, & 6209), dan Muslim (2323)]
Al-Imam An-Nawawiy-rahimahullah- berkata saat menyebutkan penafsiran ulama tentang makna hadits ini, “Sesungguhnya yang dimaksudkan hadits ini adalah pelan dalam berjalan, karena jika onta mendengar al-hida’ (nyanyian hewan), maka ia akan cepat dalam berjalan; onta akan merasa senang, dan membuat penumpangnya kaget, dan penat. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarangnya dari hal itu (al-hida’), karena para wanita akan lemah saat kerasnya gerakan, dan beliau khawatir tersakitinya para wanita dan jatuhnya mereka”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (15/81)]
Maka sepantasnya ketika berkendaraan, kita tenang dan tidak terburu-buru, karena terburu-buru itu datangnya dari setan. Boleh mempercepat kendaraan jika tidak melampaui batas sehingga ia dianggap terburu-buru, jika ada kemaslahatan, dan tidak menimbulkan kerugian dan bahaya.
Memberi Hak kepada Jalanan
Jalanan juga mempunyai hak-hak untuk kita penuhi. Karena itu, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- berwasiat kepada para sahabatnya ketika seseorang duduk di pinggir jalan, “Waspadalah kalian ketika duduk di jalan-jalan”. Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kami harus berbicara di jalan-jalan. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda, “Jika kalian enggan, kecuali harus duduk, maka berikanlah haknya jalan”. Mereka bertanya, “Apa haknya jalan?” Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الْأَذَى وَرَدُّ السَّلَامِ وَالْأَمْرُ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
“(Haknya jalan adalah) menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan yang ma’ruf, dan mencegah yang mugkar“. [HR. Al-Bukhoriy (6229), dan Muslim (2121)]
Jadi, haknya jalanan ada 5: menundukkan pandangan dari melihat perkara haram (seperti melihat kecantikan wanita yang bukan mahram), menghilangkan gangguan apa saja (misalnya, tidak buang sampah & kotoran di jalan, tidak menggoda wanita, tidak menyakiti orang lain, dan lainnya); demikian pula menjawab salam orang yang mengucapkan salam kepada kita dari kalangan kaum muslimin; memerintahkan yang ma’ruf (misalnya, mengingatkan waktu sholat, mengajak bersedekah, dan lainnya); mencegah yang mungkar (misalnya, melarang para pemuda balapan liar, melarang orang bermaksiat di jalan, dan lainnya). Wallahu a’lam.
Post a Comment