Inilah Rumah Untuk Orangtuamu? (Kisah Nasehat Birul Walidain)
Sepenggal kisah di bawah ini kiranya dapat dijadikan cerminan bagaimana menjadi anak yang berbakti dan menghargai orang tua kita (birul walidain). Sekaligus menjadi orang tua yang dapat diteladani bagi anak-anaknya. Orang tua teladan berarti orang tua yang dapat memberi kasih sayang, perlindungan, perhatian, empati, keteguhan, kejujuran, pengertian, rasa aman, dukungan dan pujian kepada anak-anaknya. Sungguh, barangsiapa yang menanam kebaikan pasti akan memanen kebaikan pula, sebaliknya barangsiapa yang menanam kejelekan pasti ia akan memanen kejelekan pula.
Tulisan ini kami share dari http://akhiyusuf.wordpress.com/ (Kita doakan semoga yang menulisnya dikaruniai pahala oleh Allah ta'alla atas jerih payahnya. Amin).
Suatu hari, seorang ibu duduk membantu anak-anaknya mengulang-ulang pelajaran sekolah mereka. Ia memberikan sebuah buku gambar kepada anaknya yang masih kecil berusia empat tahun agar tidak mengganggunya dalam memberi penjelasan dan pelajaran kepada saudara-saudaranya yang lain.
Saat itu ia teringat bahwa ia belum menyiapkan makan malam untuk mertuanya yang sudah berusia lanjut yang hidup bersama mereka dalam sebuah kamar yang kecil yang khusus dibuat di luar rumah, yang terletak di beranda rumah mereka.
Biasanya dialah yang melayani dan mengurusnya selama ini. Dan suaminya merelakan ia melayani dan mengurus orang tuanya yang sudah tidak bisa beranjak dari kamarnya karena kesehatannya yang sudah menurun.
Maka iapun bergegas menyiapkan makanan untuknya sebelum pergi. Ia bertanya kepada mertuanya kira-kira bantuan apa yang bisa dilakukannya? Kemudian iapun pergi dan kembali mengurus anak-anaknya sebagaimana biasa.
Ia memperhatikan anaknya yang berusia 4 tahun yang sedang menggambar lingkaran dan kotak bujur sangkar lalu meletakkan tanda padanya. Si ibupun bertanya kepada anaknya, “Apa yang sedang engkau gambar nak?”
Si anak menjawab dengan polos, “Aku sedang menggambar rumah yang akan aku tempati sesudah aku besar dan menikah nanti.”
Jawaban anaknya membuat hati si ibu merasa gembira.
Kemudian si ibu bertanya lagi, “Dimanakah engkau akan tidur?” Kemudian si anak menunjukkan kotak-kotak bujur sangkar dan mengatakan, “Ini adalah kamar tidur, yang ini ruang dapur dan ini adalah ruang tamu.” Iapun menyebutkan satu persatu yang ia kenali di dalam rumahnya. Ia tidak menyisakan sebuah ruangan pun yang ada di dalam rumah dari gambarnya itu, seluruh ruangannya ia gambar. Kemudian anak tadi menggambar sebuah kamar yang kecil berada di luar rumah.
Si ibupun kagum dengan anaknya. Kemudian si anak berkata kepadanya, “Kamar di luar rumah ini untuk ummi, aku akan memberikannya kepada ummi untuk ditinggali seperti halnya kakek.”
Betapa terkejutnya si ibu mendengar celotehan anaknya itu.
Dalam hati, ia berkata, “Apakah kelak aku akan ditinggal seorang diri di luar rumah? Di bilik kecil di pekarangan rumah tanpa bisa bersenda gurau bersama anak dan cucuku? Tidak bisa mengobrol, bercanda dan bermain bersama mereka ketika aku tidak mampu lagi bergerak? Siapakah yang dapat aku ajak bicara ketika itu? Apakah aku harus menghabiskan sisa hidupku seorang diri berteman dinding tanpa bisa mendengar canda tawa sanak keluargaku?”
Iapun segera memanggil pembantunya agar memindahkan perabot di ruang tamu. Biasanya ruang tamu adalah ruangan yang paling bagus dan paling indah dalam sebuah rumah.
Iapun segera memindahkan tempat tidur mertuanya ke kamar tamu setelah memindahkan perabotan ruang tamu tersebut ke kamar yang berada di halaman rumah.
Ketika suaminya pulang betapa terkejut dan herannya ia dengan apa yang dilihatnya. Iapun bertanya kepada istrinya mengapa ia merubah desain ruang tamunya?
Iapun menjawab dengan air mata berlinang dari kedua matanya. Ia berkata, “Aku sengaja memilih ruangan yang paling bagus untuk kita apabila kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita umur panjang dan kita tidak mampu lagi bergerak. Dan biarkanlah ruang tamu berada di pekarangan rumah.
Si suamipun paham apa yang dimaksud oleh istrinya. Iapun memuji tindakan istrinya terhadap orang tuanya, yang memandangi mereka dan tersenyum dengan pandangan penuh keridhaan.
Lantas si anak menghapus gambarnya dan tersenyum….
Dikutip dari kitab Qishahs Muatstsiratu fi Bir wa ‘Uquuqul Walidain dan telah di terbitkan oleh At-Tibyan dalam edisi Indonesia.
Tidak sedikit pula pembahasan birrul walidain seringkali dibahas dalam beberapa kajian, salah satunya bisa anda dengar dan download di sini.
Semoga kita digolongkan oleh Allah dalam golongan orang-orang yang shalih yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berbakti kepada orang tua kita…amiin.
Tulisan ini kami share dari http://akhiyusuf.wordpress.com/ (Kita doakan semoga yang menulisnya dikaruniai pahala oleh Allah ta'alla atas jerih payahnya. Amin).
Suatu hari, seorang ibu duduk membantu anak-anaknya mengulang-ulang pelajaran sekolah mereka. Ia memberikan sebuah buku gambar kepada anaknya yang masih kecil berusia empat tahun agar tidak mengganggunya dalam memberi penjelasan dan pelajaran kepada saudara-saudaranya yang lain.
Saat itu ia teringat bahwa ia belum menyiapkan makan malam untuk mertuanya yang sudah berusia lanjut yang hidup bersama mereka dalam sebuah kamar yang kecil yang khusus dibuat di luar rumah, yang terletak di beranda rumah mereka.
Biasanya dialah yang melayani dan mengurusnya selama ini. Dan suaminya merelakan ia melayani dan mengurus orang tuanya yang sudah tidak bisa beranjak dari kamarnya karena kesehatannya yang sudah menurun.
Maka iapun bergegas menyiapkan makanan untuknya sebelum pergi. Ia bertanya kepada mertuanya kira-kira bantuan apa yang bisa dilakukannya? Kemudian iapun pergi dan kembali mengurus anak-anaknya sebagaimana biasa.
Ia memperhatikan anaknya yang berusia 4 tahun yang sedang menggambar lingkaran dan kotak bujur sangkar lalu meletakkan tanda padanya. Si ibupun bertanya kepada anaknya, “Apa yang sedang engkau gambar nak?”
Si anak menjawab dengan polos, “Aku sedang menggambar rumah yang akan aku tempati sesudah aku besar dan menikah nanti.”
Jawaban anaknya membuat hati si ibu merasa gembira.
Kemudian si ibu bertanya lagi, “Dimanakah engkau akan tidur?” Kemudian si anak menunjukkan kotak-kotak bujur sangkar dan mengatakan, “Ini adalah kamar tidur, yang ini ruang dapur dan ini adalah ruang tamu.” Iapun menyebutkan satu persatu yang ia kenali di dalam rumahnya. Ia tidak menyisakan sebuah ruangan pun yang ada di dalam rumah dari gambarnya itu, seluruh ruangannya ia gambar. Kemudian anak tadi menggambar sebuah kamar yang kecil berada di luar rumah.
Si ibupun kagum dengan anaknya. Kemudian si anak berkata kepadanya, “Kamar di luar rumah ini untuk ummi, aku akan memberikannya kepada ummi untuk ditinggali seperti halnya kakek.”
Betapa terkejutnya si ibu mendengar celotehan anaknya itu.
Dalam hati, ia berkata, “Apakah kelak aku akan ditinggal seorang diri di luar rumah? Di bilik kecil di pekarangan rumah tanpa bisa bersenda gurau bersama anak dan cucuku? Tidak bisa mengobrol, bercanda dan bermain bersama mereka ketika aku tidak mampu lagi bergerak? Siapakah yang dapat aku ajak bicara ketika itu? Apakah aku harus menghabiskan sisa hidupku seorang diri berteman dinding tanpa bisa mendengar canda tawa sanak keluargaku?”
Iapun segera memanggil pembantunya agar memindahkan perabot di ruang tamu. Biasanya ruang tamu adalah ruangan yang paling bagus dan paling indah dalam sebuah rumah.
Iapun segera memindahkan tempat tidur mertuanya ke kamar tamu setelah memindahkan perabotan ruang tamu tersebut ke kamar yang berada di halaman rumah.
Ketika suaminya pulang betapa terkejut dan herannya ia dengan apa yang dilihatnya. Iapun bertanya kepada istrinya mengapa ia merubah desain ruang tamunya?
Iapun menjawab dengan air mata berlinang dari kedua matanya. Ia berkata, “Aku sengaja memilih ruangan yang paling bagus untuk kita apabila kelak Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kita umur panjang dan kita tidak mampu lagi bergerak. Dan biarkanlah ruang tamu berada di pekarangan rumah.
Si suamipun paham apa yang dimaksud oleh istrinya. Iapun memuji tindakan istrinya terhadap orang tuanya, yang memandangi mereka dan tersenyum dengan pandangan penuh keridhaan.
Lantas si anak menghapus gambarnya dan tersenyum….
Dikutip dari kitab Qishahs Muatstsiratu fi Bir wa ‘Uquuqul Walidain dan telah di terbitkan oleh At-Tibyan dalam edisi Indonesia.
Tidak sedikit pula pembahasan birrul walidain seringkali dibahas dalam beberapa kajian, salah satunya bisa anda dengar dan download di sini.
Semoga kita digolongkan oleh Allah dalam golongan orang-orang yang shalih yang senantiasa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta berbakti kepada orang tua kita…amiin.
Post a Comment