Tahukah kamu.... Dimanakah Allah?
Artikel ini diambil dari Buletin Muslimah : Zuhairoh
Saudariku yang semoga Allah Ta’ala senantisa menjagamu di setiap detik waktumu….
Tidak sedikit kita jumpai di antara saudari-saudari kita ketika ditanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat mudah “Di manakah Allah?”, mereka masih menjawab “Allah ada di mana-mana”, “Allah ada di hatiku”, atau “Allah ada di pikiran orang yang sedang mengingat-Nya”.
Wahai Saudariku yang semoga Allah senantiasa memberimu hidayah… Lembaran yang sedang kau pegang ini mungkin sangat jauh tidak menarik dibandingkan majalah atau tabloid yang menceritakan profil-profil artis idola. Sehingga ketika ditanya “Di manakah artis A atau artis B tinggal?” dan pertanyaan semakna lainnya, dengan mantap keluar jawaban dari mulut mereka. Tetapi ketika pertanyaan tersebut diganti dengan “Di manakah Allah?” mereka mengawali jawaban dengan “ehmmmm….”, senyum-senyum, diam, dan ekspresi lainnya.
Oleh karena itu wahai Saudariku, tahanlah tanganmu sejenak untuk meletakkan lembaran ini di tempat semula. Sempatkanlah sejenak kedua matamu untuk membaca rangkaian-rangkaian huruf ini.
Bukankah Allah Ta’ala adalah Dzat yang sering kita dengar nama-Nya, kita ucapkan nama-Nya, kita rasakan nikmat-Nya, dan kita rasakan kasih sayang-Nya yang sangat luas. Namun, mengapa ketika kita ditanya “Di manakah Allah?” kita masih ragu untuk menjawabnya?
Saudariku, semoga selembar kertas yang Engkau pegang ini dapat menjadi sebab Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya kepadamu untuk menjawab pertanyaan “Di manakah Allah?”
Di manakah Allah?
Ketahuilah wahai Saudariku –semoga Allah Ta’ala memberkahimu- bahwa ketinggian Allah Ta’ala ada dua macam:
Dalil-dalil Al-Qur’an
Dalam masalah ini terdapat dalil yang sangat banyak dari Al-Qur’an yang menyebutkan ketinggian dzat Allah Ta’ala yang berada di atas langit. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam Al-Qur’an terdapat seribu dalil lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk-Nya.” Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:
Dalil dari Hadits
Saudariku, dalam masalah ini juga terdapat banyak dalil dari hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala di atas sana. Semoga Engkau semakin meyakininya wahai Saudariku..
Dalil pertama, Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (sebuah tempat di dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam (baca: manusia biasa), saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya. Kemudian saya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’ Beliau menjawab, ‘Bawalah budak itu padaku.’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak wanita tersebut, ‘Di mana Allah?’ Budak tersebut menjawab, ‘Di atas langit.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah.’” (HR. Muslim)
Utsman Ad-Darimi berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seseorang yang tidak mengetahui kalau Allah Ta’ala itu di atas dan bukan di bumi, maka dia bukan seorang mukmin.” Saudariku, perhatikanlah bahwa pengetahuan budak wanita tersebut tentang keberadaan Allah Ta’ala di atas langit dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda keimanannya.
Wahai Saudariku, akankah kita kalah dengan seorang budak?? Ketika ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, budak tersebut mampu menjawabnya sehingga dia dimerdekakan. Akan tetapi, di zaman sekarang ini, justru banyak yang tidak mampu menjawab pertanyaan “Di mana Allah?” dengan jawaban yang benar. Hanya kepada Allah-lah kita mengadu!!
Dalil ke dua, berkaitan dengan hadits-hadits tentang peristiwa Isra’ Mi’raj. Saudariku, seandainya dalam hadits-hadits tersebut Allah di mana-mana tentulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu susah-susah diangkat ke langit untuk menghadap Allah Ta’ala.
Dalil ke tiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’” (HR. Bukhari) Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah Ta’ala berada di atas langit, di atas ‘arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah (argumentasi) Ahlu Sunnah terhadap sekte Mu’tazilah dan Jahmiyyah yang berpendapat bahwa Allah ada di mana-mana, bukan di atas ‘arsy.”
Dalil ke empat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang pengasih itu dikasihi oleh Dzat Yang Maha Pengasih, sayangilah makhluk yang ada di atas bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh Dzat yang berada di atas langit.” (Shahih, HR. Ahmad)
Dalil ke lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhaji, setelah beliau berkhutbah di Arafah kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkannya kepada manusia, “Ya Allah, saksikanlah, Ya Allah saksikanlah” sebanyak tiga kali. (HR. Muslim)
Saudariku, hadits di atas merupakan bantahan keras bagi sekelompok orang yang selalu melarang kaum muslimin untuk berisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata, “Kami khawatir orang-orang akan mempunyai keyakinan bahwa Allah berada di atas langit, padahal Allah tidak bertempat, tetapi Allah ada di setiap tempat.” Demikian kekhawatiran yang dimasukkan oleh setan ke dalam hati mereka –na’udzubillah min dzalika- yang berarti mereka telah menganggap bodoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit.
Dalil Ijma’ ‘Ulama
Ketahuilah wahai Saudariku, ijma’ adalah suatu hujjah syar’iyah (sumber hukum)dalam agama, sebab tidak mungkin para ulama bersatu untuk menyelisihi Al-Qur’an dan hadits. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa berpendapat sesuai dengan jama’ah kaum muslimin maka berarti dia berpegang kepada jama’ah mereka, dan barangsiapa yang menyelisihi jama’ah kaum muslimin maka dia menyelisihi jama’ah yang dia diperintahkan untuk mengikutinya. Sesungguhnya kesalahan itu ada dalam perpecahan, adapaun jama’ah maka tidak mungkin semuanya bersatu menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan qiyas (analogi), insya Allah.” (Ar-Risalah, hal. 475-476)
Saudariku seiman… bahwa para sahabat, para tabi’in, serta para imam kaum muslimin telah bersepakat akan ketinggian Allah Ta’ala di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Ijma’ ini banyak dinukil oleh para ulama, di antaranya:
Sungguh sebenarnya masih banyak lagi ucapan para ulama ahlu sunnah lainnya yang menyatakan bahwa Allah berada di atas ‘arsy-Nya. Semoga dengan sedikit ini keyakinan saudariku bisa bertambah.
Alangkah bagusnya ucapan Adz-Dzahabi rahimahullah setelah menyebutkan sedikit nukilan para ulama, “Seandainya kita harus menukil seluruh ucapan para imam tentang masalah sifat Allah, tentu hal itu tidak mencukupi halaman buku. Kalau penentang masih belum puas dengan apa yang kami sebutkan atau tidak percaya, maka itu pertanda bahwa Allah Ta’ala tidak memberinya petunjuk.” (Sifat Rabbil ‘Alamin hal. 187)
Dalil Akal dan Fitrah
Saudariku, setiap akal manusia yang masih sehat tentu akan mengakui ketinggian Allah di atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi. Pertama: ketinggian Allah Ta’ala merupakan sifat yang mulia bagi Allah. Ke dua: kebalikan tinggi adalah rendah, sedangkan rendah merupakan sifat yang kurang bagi Allah. Maha Suci Allah Ta’ala dari sifat yang rendah.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memfitrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Allah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang rusak fitrahnya. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Allah, ke manakah hati kita tertuju? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fitrahnya tentu menjawab “ke atas”. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah hal. 253 dan Qowa’idul Mutsla hal. 83, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Dikisahkan bahwa suatu hari ‘Abdul Malik Al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Allah tidak dimana-mana, sekarang Dia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far Al-Hamdhani seraya berkata, “Wahai Ustadz! Jelaskanlah kepada kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik Al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdhani telah membuat diriku bingung, Al-Hamdhani telah membuat diriku bingung.” Akhirnya beliau pun mendapat hidayah Allah Ta’ala dan kembali ke jalan yang benar.
Wahai Saudariku, sangat jelaslah Allah menerangkan keberadaan Dzat-Nya ada di atas langit. Akankah kita terus mengingkarinya? Hanya kepada Allahlah kita memohon petunjuk dan pertolongan. Wallahu a’lam.
[Ummu Anas]
(Diringkas dari buku Dimana Allah? Pertanyaan Penting yang Terabaikan! Karya Abu Ubaidah As-Sidawi, cetakan Media Tarbiyah dengan sedikit tambahan)
Saudariku yang semoga Allah Ta’ala senantisa menjagamu di setiap detik waktumu….
Tidak sedikit kita jumpai di antara saudari-saudari kita ketika ditanya dengan sebuah pertanyaan yang sangat mudah “Di manakah Allah?”, mereka masih menjawab “Allah ada di mana-mana”, “Allah ada di hatiku”, atau “Allah ada di pikiran orang yang sedang mengingat-Nya”.
Wahai Saudariku yang semoga Allah senantiasa memberimu hidayah… Lembaran yang sedang kau pegang ini mungkin sangat jauh tidak menarik dibandingkan majalah atau tabloid yang menceritakan profil-profil artis idola. Sehingga ketika ditanya “Di manakah artis A atau artis B tinggal?” dan pertanyaan semakna lainnya, dengan mantap keluar jawaban dari mulut mereka. Tetapi ketika pertanyaan tersebut diganti dengan “Di manakah Allah?” mereka mengawali jawaban dengan “ehmmmm….”, senyum-senyum, diam, dan ekspresi lainnya.
Oleh karena itu wahai Saudariku, tahanlah tanganmu sejenak untuk meletakkan lembaran ini di tempat semula. Sempatkanlah sejenak kedua matamu untuk membaca rangkaian-rangkaian huruf ini.
Bukankah Allah Ta’ala adalah Dzat yang sering kita dengar nama-Nya, kita ucapkan nama-Nya, kita rasakan nikmat-Nya, dan kita rasakan kasih sayang-Nya yang sangat luas. Namun, mengapa ketika kita ditanya “Di manakah Allah?” kita masih ragu untuk menjawabnya?
Saudariku, semoga selembar kertas yang Engkau pegang ini dapat menjadi sebab Allah Ta’ala memberikan hidayah-Nya kepadamu untuk menjawab pertanyaan “Di manakah Allah?”
Di manakah Allah?
Ketahuilah wahai Saudariku –semoga Allah Ta’ala memberkahimu- bahwa ketinggian Allah Ta’ala ada dua macam:
- Pertama, ketinggian sifat Allah Ta’ala. Hal ini telah disepakati oleh seluruh orang yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Yang dimaksud dengan ketinggian sifat adalah tingginya kedudukan, seperti seorang bupati yang memiliki kedudukan yang tinggi dibandingkan rakyatnya, meskipun mereka semua sama-sama tinggal di bumi.
- Ke dua, ketingggian dzat Allah Ta’ala, yaitu dzat Allah Ta’ala lebih tinggi dari seluruh makhluk-Nya. Ketinggian inilah yang sering diingkari oleh sebagian kelompok termasuk kelompok yang menisbatkan dirinya kepada Islam. Juga dalam hal inilah banyak orang salah menjawab pertanyaan “Di manakah Allah?” dengan jawaban “Allah ada di mana-mana”, “Allah bersatu dengan makhluknya” dan jawaban lainnya. Oleh karena itu, dalam masalah ini akan dibawakan dalil dari Al-Qur’an, hadits, ijma’ (kesepakatan para ulama), akal, dan fitrah yang membantah pengingkaran mereka terhadap ketinggian dzat Allah Ta’ala.
Dalil-dalil Al-Qur’an
Dalam masalah ini terdapat dalil yang sangat banyak dari Al-Qur’an yang menyebutkan ketinggian dzat Allah Ta’ala yang berada di atas langit. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Dalam Al-Qur’an terdapat seribu dalil lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk-Nya.” Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah:
- Dengan lafadz ‘ali (tinggi) secara mutlak. Seperti firman Allah (yang artinya), “Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255)
- Dengan lafadz istiwa’ (tinggi/naik) di atas ‘arsy. Seperti firman Allah (yang artinya), “Ar-Rahman (Dzat Yang Maha Pemurah) tinggi/naik di atas ‘arsy.” (QS. Thaha: 5)
- Dengan naiknya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Allah (yang artinya), “Kepada-Nyalah naik perkataan yang baik, dan amal shalih dinaikkan-Nya.” (QS. Fathir: 10) Atau firman-Nya (yang artinya), “Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada-Nya.” (QS. Al-Ma’arij: 4)
- Dengan turunnya sesuatu dari-Nya. Seperti firman Allah (yang artinya), “Katakanlah Ruh Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur’an dari Rabbmu dengan benar.” (QS. An-Nahl: 102)
Dalil dari Hadits
Saudariku, dalam masalah ini juga terdapat banyak dalil dari hadits yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala di atas sana. Semoga Engkau semakin meyakininya wahai Saudariku..
Dalil pertama, Muawiyah bin Hakam As-Sulami radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di gunung Uhud dan Al-Jawwaniyyah (sebuah tempat di dekat gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam (baca: manusia biasa), saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya. Kemudian saya mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’ Beliau menjawab, ‘Bawalah budak itu padaku.’ Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada budak wanita tersebut, ‘Di mana Allah?’ Budak tersebut menjawab, ‘Di atas langit.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah.’” (HR. Muslim)
Utsman Ad-Darimi berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa seseorang yang tidak mengetahui kalau Allah Ta’ala itu di atas dan bukan di bumi, maka dia bukan seorang mukmin.” Saudariku, perhatikanlah bahwa pengetahuan budak wanita tersebut tentang keberadaan Allah Ta’ala di atas langit dijadikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tanda keimanannya.
Wahai Saudariku, akankah kita kalah dengan seorang budak?? Ketika ditanya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, budak tersebut mampu menjawabnya sehingga dia dimerdekakan. Akan tetapi, di zaman sekarang ini, justru banyak yang tidak mampu menjawab pertanyaan “Di mana Allah?” dengan jawaban yang benar. Hanya kepada Allah-lah kita mengadu!!
Dalil ke dua, berkaitan dengan hadits-hadits tentang peristiwa Isra’ Mi’raj. Saudariku, seandainya dalam hadits-hadits tersebut Allah di mana-mana tentulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak perlu susah-susah diangkat ke langit untuk menghadap Allah Ta’ala.
Dalil ke tiga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan siapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’” (HR. Bukhari) Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil bahwasanya Allah Ta’ala berada di atas langit, di atas ‘arsy sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah (argumentasi) Ahlu Sunnah terhadap sekte Mu’tazilah dan Jahmiyyah yang berpendapat bahwa Allah ada di mana-mana, bukan di atas ‘arsy.”
Dalil ke empat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang-orang yang pengasih itu dikasihi oleh Dzat Yang Maha Pengasih, sayangilah makhluk yang ada di atas bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh Dzat yang berada di atas langit.” (Shahih, HR. Ahmad)
Dalil ke lima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berhaji, setelah beliau berkhutbah di Arafah kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan mengangkat jari telunjuknya ke langit dan mengisyaratkannya kepada manusia, “Ya Allah, saksikanlah, Ya Allah saksikanlah” sebanyak tiga kali. (HR. Muslim)
Saudariku, hadits di atas merupakan bantahan keras bagi sekelompok orang yang selalu melarang kaum muslimin untuk berisyarat dengan jarinya ke arah langit. Mereka berkata, “Kami khawatir orang-orang akan mempunyai keyakinan bahwa Allah berada di atas langit, padahal Allah tidak bertempat, tetapi Allah ada di setiap tempat.” Demikian kekhawatiran yang dimasukkan oleh setan ke dalam hati mereka –na’udzubillah min dzalika- yang berarti mereka telah menganggap bodoh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah mengisyaratkan jari beliau ke arah langit.
Dalil Ijma’ ‘Ulama
Ketahuilah wahai Saudariku, ijma’ adalah suatu hujjah syar’iyah (sumber hukum)dalam agama, sebab tidak mungkin para ulama bersatu untuk menyelisihi Al-Qur’an dan hadits. Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa berpendapat sesuai dengan jama’ah kaum muslimin maka berarti dia berpegang kepada jama’ah mereka, dan barangsiapa yang menyelisihi jama’ah kaum muslimin maka dia menyelisihi jama’ah yang dia diperintahkan untuk mengikutinya. Sesungguhnya kesalahan itu ada dalam perpecahan, adapaun jama’ah maka tidak mungkin semuanya bersatu menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan qiyas (analogi), insya Allah.” (Ar-Risalah, hal. 475-476)
Saudariku seiman… bahwa para sahabat, para tabi’in, serta para imam kaum muslimin telah bersepakat akan ketinggian Allah Ta’ala di atas langit-Nya, bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Ijma’ ini banyak dinukil oleh para ulama, di antaranya:
- Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Kami dan seluruh tabi’in bersepakat mengatakan, ‘Allah berada di atas ‘arsy-Nya.’ Dan kami semua mengimani sifat-sifat Allah yang dijelaskan dalam As-Sunnah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Asma wa Shifat hal. 408)
- Abu Zur’ah dan Abu Hatim rahimahumallah berkata, “Ahli Islam telah bersepakat untuk menetapkan sifat bagi Allah dan bahwasanya Allah di atas ‘arsy berpisah dari makhluk-Nya, dan ilmu-Nya di setiap tempat. Barangsiapa yang mengatakan selain ini maka baginya laknat Allah.” (Syarh Ushul I’tiqod Ahli Sunnah Al-Lalikai 1/198)
- Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Amma ba’du: Sesungguhnya Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia tinggi di atas langit, demikian juga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam -penutup para Nabi- mensifati Allah dengan ketinggian juga, dan hal itu disepakati oleh para ulama dari kalangan sahabat yang bertaqwa dan para imam yang mendalam ilmunya, hadits-hadits tentang hal itu juga mutawatir sehingga mencapai derajat yakin (tanpa ada unsur keraguan sedikitpun, -ed.). Demikian pula Allah menyatukan semua hati kaum muslimin dan menjadikannya sebagai fitrah semua makhluk.” (Itsbat Shifatul ‘Uluw hal. 12)
Sungguh sebenarnya masih banyak lagi ucapan para ulama ahlu sunnah lainnya yang menyatakan bahwa Allah berada di atas ‘arsy-Nya. Semoga dengan sedikit ini keyakinan saudariku bisa bertambah.
Alangkah bagusnya ucapan Adz-Dzahabi rahimahullah setelah menyebutkan sedikit nukilan para ulama, “Seandainya kita harus menukil seluruh ucapan para imam tentang masalah sifat Allah, tentu hal itu tidak mencukupi halaman buku. Kalau penentang masih belum puas dengan apa yang kami sebutkan atau tidak percaya, maka itu pertanda bahwa Allah Ta’ala tidak memberinya petunjuk.” (Sifat Rabbil ‘Alamin hal. 187)
Dalil Akal dan Fitrah
Saudariku, setiap akal manusia yang masih sehat tentu akan mengakui ketinggian Allah di atas makhluk-Nya. Hal tersebut dapat ditinjau dari dua segi. Pertama: ketinggian Allah Ta’ala merupakan sifat yang mulia bagi Allah. Ke dua: kebalikan tinggi adalah rendah, sedangkan rendah merupakan sifat yang kurang bagi Allah. Maha Suci Allah Ta’ala dari sifat yang rendah.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memfitrahkan kepada seluruh makhluk-Nya, baik Arab maupun non-Arab dengan ketinggian Allah, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang yang rusak fitrahnya. Marilah kita berpikir bersama di saat kita memanjatkan do’a kepada Allah, ke manakah hati kita tertuju? Ke bawah atau ke atas? Manusia yang belum rusak fitrahnya tentu menjawab “ke atas”. (Lihat Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah hal. 253 dan Qowa’idul Mutsla hal. 83, karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Dikisahkan bahwa suatu hari ‘Abdul Malik Al-Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Allah tidak dimana-mana, sekarang Dia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah seorang yang bernama Abu Ja’far Al-Hamdhani seraya berkata, “Wahai Ustadz! Jelaskanlah kepada kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati kami, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik Al-Juwaini berteriak dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al-Hamdhani telah membuat diriku bingung, Al-Hamdhani telah membuat diriku bingung.” Akhirnya beliau pun mendapat hidayah Allah Ta’ala dan kembali ke jalan yang benar.
Wahai Saudariku, sangat jelaslah Allah menerangkan keberadaan Dzat-Nya ada di atas langit. Akankah kita terus mengingkarinya? Hanya kepada Allahlah kita memohon petunjuk dan pertolongan. Wallahu a’lam.
[Ummu Anas]
(Diringkas dari buku Dimana Allah? Pertanyaan Penting yang Terabaikan! Karya Abu Ubaidah As-Sidawi, cetakan Media Tarbiyah dengan sedikit tambahan)
Post a Comment