Mengenal Mujaddid (Ulama Pembaharu) dalam Islam
Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun.” [1]
Arti “memperbaharui (urusan) agama” adalah menghidupkan kembali dan menyerukan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan manusia, yaitu dengan menyebarkan ilmu yang benar, mengajak manusia kepada tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan mereka untuk menjauhi perbuatan syirik dan bid’ah. [2]
Perhitungan akhir seratus tahun dalam hadits ini adalah dimulai dari waktu hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah. [3]
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “…Orang yang akan memperbaharui (urusan) agama…,” tidak menunjukkan bahwa mujaddid di setiap akhir seratus tahun hanya satu orang, tapi mungkin saja pada waktu tertentu lebih dari satu orang, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar dan para ulama lainnya. [4]
Dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [5]
Para ulama telah menyebutkan nama-nama para imam ahlus sunnah yang memenuhi kriteria untuk disebut sebagai mujaddid (pembaharu) dalam Islam, berdasarkan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat mulia para imam tersebut.
Dalam tulisan ini, kami akan menyebutkan beberapa di antara para imam tersebut, beserta sekelumit dari biografi mereka.
Pertama, Umar bin Abdil Aziz bin Marwan bin Hakam Al-Qurasyi Al-Umawi Al-Madani
Beliau adalah khalifah yang tersohor dengan keshalihan dan keadilannya, amirul mukminin, imam tabi’in yang mulia, penghapal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 64 H dan wafat pada tahun 101 H.
Ibunya adalah cucu sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, namanya Hafshah bintu ‘Ashim bin Umar bin Khattab. [6]
Beliau diserupakan –dalam keadilan dan kelurusan akhlak– dengan kakek beliau Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, –dalam sifat zuhud– dengan Hasan Al-Bashri, dan –dalam ketinggian ilmu– dengan Imam Az-Zuhri. [7]
Imam Asy-Syafi’i memuji beliau dengan mengatakan, “Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala) ada lima orang: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdil Aziz.” [8]
Para ulama ahlus sunnah telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) pertama dalam Islam. [9]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, kami melihat (meneliti sejarah), maka (kami dapati pembaharu) pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah) adalah Umar bin Abdil Aziz, dan (pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua adalah Imam Asy-Syafi’i.” [10]
Kedua, Imam Asy-Syafi’i (Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin bin Al-Abbas bin Utsman Al-Muththalibi Al-Qurasyi Al-Makki)
Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), pembela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ahli fikih yang ternama, penghapal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [11]
Imam Qutaibah bin Sa’id memuji beliau, dengan mengatakan, “Kematian Imam Syafi’i berarti kematian sunnah Rasulullah.” [12]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Kedudukan) Imam Syafi’i (di zamannya) adalah seperti matahari bagi bumi dan sebagai penyelamat bagi umat manusia.” [13]
Para ulama ahlus sunnah juga telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam Islam. [14]
Imam Ahmad berkata: “…(Pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah) adalah Imam Asy-Syafi’i.” [15]
Imam Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah mujaddid (pembaharu) urusan agama Islam pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah).” [16]
Ketiga, Hasan Al-Bashri (Abu Sa’id Al-Hasan bin Abil Hasan Yasar Al-Bashri)
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syekhul Islam, sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahir pada tahun 22 H dan wafat 110 H. [17]
Beliau pernah disusui oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pernah didoakan kebaikan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu agar diberi pemahaman dalam ilmu agama dan dicintai manusia. [18]
Imam Muhammad bin Sa’ad memuji beliau dengan mengatakan, “Beliau adalah seseorang yang berilmu (tinggi), menghimpun (berbagai macam ilmu), tinggi (kedudukannya), sangat terpercaya, sandaran dalam periwayatan hadits, dan ahli ibadah.” [19]
Beliau termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [20]
Keempat, Muhammab bin Sirin (Abu Bakr Al-Anshari Al-Bashri)
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syekhul Islam, sangat wara’ (berhati-hati dalam masalah halal-haram), sangat luas ilmunya lagi sangat terpercaya, dan kokoh dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat pada tahun 110 H. [21]
Imam Abu ‘Awanah Al-Yasykuri berkata, “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar. Tidaklah seorang pun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah.” [22]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [23]
Kelima, Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab Az-Zuhri Al-Qurasyi Al-Madani
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, penghapal hadits yang utama, yang disepakati kemuliaan dan kecermatan hapalannya. Beliau wafat pada tahun 125 H. [24]
Imam Umar bin Abdil Aziz memuji beliau dengan mengatakan, “Tidak tersisa seorang pun (di zaman ini) yang lebih memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Az-Zuhri.” [25]
Imam Ayyub As-Sakhtiyani berkata, “Aku belum pernah melihat (seorang pun) yang lebih berilmu daripada beliau.” [26]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [27]
Keenam, Yahya bin Ma’in (Abu Zakaria Al-Baghdadi)
Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli jarh wa ta’dil (penilaian terhadap para perawi hadits dalam bentuk pujian atau celaan) yang ternama, penghapal hadits yang utama, dan guru bagi para ulama ahli hadits. Lahir pada tahun 158 H dan wafat tahun 233 H. [28]
Imam Ahmad bin Hambal memuji beliau, dengan mengatakan, “Yahya bin Ma’in adalah orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan (khusus) untuk urusan ini (membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), dengan (jalan) beliau menyingkap kedustaan para pendusta dalam hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [29]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah). [30]
Ketujuh, Imam An-Nasa’i (Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan)
Beliau adalah imam besar, syekhul Islam, penghapal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H. [31]
Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau, dengan mengatakan, “Abu Abdirrahman An-Nasa’i adalah seorang imam (panutan), penghapal hadits, dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya.” [32]
Imam Abul Hasan Ad-Daraquthni berkata, “Abu Abdirrahman An-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di zaman beliau.” [33]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga (hijriyah). [34]
Catatan penting:
1. Banyak imam besar ahlus sunnah yang terkenal dengan ketinggian ilmu dan pemahaman, serta kuat dalam menegakkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka tidak dinobatkan oleh para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di zamannya. Padahal, mereka sangat pantas untuk itu, seperti imam Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh masa hidup mereka yang tidak bertepatan dengan waktu yang disebutkan dalam hadits di atas, dan ini sama sekali tidak mengurangi tingginya kedudukan dan kemuliaan mereka. [35]
2. Di antara para imam ahlus sunnah yang dinobatkan oleh sejumlah besar ulama Islam sebagai pembaharu dalam Islam di abad ke-12 Hijriyah adalah Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi (wafat 1206 H) [36]. Dalam hal ini, syekh yang mulia, Abdul Aziz bin Baz, berkata, “Di antara para imam (Ahlus sunnah) yang mendapatkan petunjuk (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan da’i yang mengusahakan perbaikan (umat ini) adalah imam yang sangat dalam dan luas ilmunya, pembaharu ajaran Islam yang telah ditinggalkan (manusia) di abad ke-12 Hijriyah, dan penyeru kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali At-Tamimi Al-Hambali, semoga Allah memperindah (menerangi) tempat peristirahannya dan memuliakannya di surga sebagai tempat menetapnya.” [37]
3. Demikian pula, yang disebut-sebut para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di abad ini, dua imam ahlus sunnah yang ternama: Syekh yang mulia, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan Syekh yang mulia, Abdul aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah merahmati semua ulama ahlus sunnah yang telah wafat dan menjaga mereka yang masih hidup.
Footnote:
[1] HR. Abu Daud (no. 4291), Al-Hakim (no. 8592), dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath (no. 6527); dinyatakan shahih oleh Imam Al-Hakim, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar (dinukil dalam kitab ’Aunul Ma’bud: 11/267 dan Syekh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no. 599.
[2] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[3] Ibid.
[4] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/264.
[5] Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[6] Lihat kitab Tahdzibul Kamal: 21/432 dan Tadzkiratul Huffazh: 1/118.
[7] Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/119.
[8] Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/119.
[9] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[10]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[11]Lihat kitab Tahdzibul Kamal: 24/355, Siyaru A’lamin Nubala’: 10/5, dan Tadzkiratul Huffazh: 1/361.
[12]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[13]Dinukil oleh Imam Al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 24/372.
[14]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[15]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[16]Kitab Taqribut Tahdzib, hlm. 467.
[17]Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/71 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 160.
[18]Dinukil oleh Imam Al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 6/104.
[19]Dinukil oleh Imam Al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 6/104.
[20]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[21]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/606, Tadzkiratul Huffazh: 1/77, dan Taqribut Tahdzib, hlm. 160.
[22]Kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/610. Dalam sebuah hadits shahih Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wali (kekasih) Allah adalah orang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah.” lihat Ash-Shahihah, no. 1733.
[23]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[24]Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/108 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 506.
[25]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/109.
[26]Ibid.
[27]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[28]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 11/71 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 597.
[29]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 11/80.
[30]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[31]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 14/125 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 80.
[32]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 14/133.
[33]Ibid: 14/131.
[34]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[35]Ibid: 11/263.
[36]Lihat kitab ’Aqidatusy Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab As-Salafiyyah: 1/18.
[37]Ibid: 1/19–20.
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun.” [1]
Arti “memperbaharui (urusan) agama” adalah menghidupkan kembali dan menyerukan pengamalan ajaran Islam yang bersumber dari petunjuk Al-Quran dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah ditinggalkan manusia, yaitu dengan menyebarkan ilmu yang benar, mengajak manusia kepada tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta memperingatkan mereka untuk menjauhi perbuatan syirik dan bid’ah. [2]
Perhitungan akhir seratus tahun dalam hadits ini adalah dimulai dari waktu hijrah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekkah ke Madinah. [3]
Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “…Orang yang akan memperbaharui (urusan) agama…,” tidak menunjukkan bahwa mujaddid di setiap akhir seratus tahun hanya satu orang, tapi mungkin saja pada waktu tertentu lebih dari satu orang, sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Ibnu Hajar dan para ulama lainnya. [4]
Dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [5]
Para ulama telah menyebutkan nama-nama para imam ahlus sunnah yang memenuhi kriteria untuk disebut sebagai mujaddid (pembaharu) dalam Islam, berdasarkan pengamatan mereka terhadap sifat-sifat mulia para imam tersebut.
Dalam tulisan ini, kami akan menyebutkan beberapa di antara para imam tersebut, beserta sekelumit dari biografi mereka.
Pertama, Umar bin Abdil Aziz bin Marwan bin Hakam Al-Qurasyi Al-Umawi Al-Madani
Beliau adalah khalifah yang tersohor dengan keshalihan dan keadilannya, amirul mukminin, imam tabi’in yang mulia, penghapal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 64 H dan wafat pada tahun 101 H.
Ibunya adalah cucu sahabat yang mulia Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, namanya Hafshah bintu ‘Ashim bin Umar bin Khattab. [6]
Beliau diserupakan –dalam keadilan dan kelurusan akhlak– dengan kakek beliau Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu, –dalam sifat zuhud– dengan Hasan Al-Bashri, dan –dalam ketinggian ilmu– dengan Imam Az-Zuhri. [7]
Imam Asy-Syafi’i memuji beliau dengan mengatakan, “Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun (khalifah-khalifah yang mendapat petunjuk dan bimbingan Allah Subhanahu wa Ta’ala) ada lima orang: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan Umar bin Abdil Aziz.” [8]
Para ulama ahlus sunnah telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) pertama dalam Islam. [9]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesunguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun, orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian, kami melihat (meneliti sejarah), maka (kami dapati pembaharu) pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah) adalah Umar bin Abdil Aziz, dan (pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua adalah Imam Asy-Syafi’i.” [10]
Kedua, Imam Asy-Syafi’i (Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin bin Al-Abbas bin Utsman Al-Muththalibi Al-Qurasyi Al-Makki)
Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), pembela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ahli fikih yang ternama, penghapal hadits yang utama dan terpercaya. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 204 H. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [11]
Imam Qutaibah bin Sa’id memuji beliau, dengan mengatakan, “Kematian Imam Syafi’i berarti kematian sunnah Rasulullah.” [12]
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “(Kedudukan) Imam Syafi’i (di zamannya) adalah seperti matahari bagi bumi dan sebagai penyelamat bagi umat manusia.” [13]
Para ulama ahlus sunnah juga telah bersepakat untuk menobatkan beliau sebagai mujaddid (pembaharu) kedua dalam Islam. [14]
Imam Ahmad berkata: “…(Pembaharu) pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah) adalah Imam Asy-Syafi’i.” [15]
Imam Ibnu Hajar berkata, “Beliau adalah mujaddid (pembaharu) urusan agama Islam pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah).” [16]
Ketiga, Hasan Al-Bashri (Abu Sa’id Al-Hasan bin Abil Hasan Yasar Al-Bashri)
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syekhul Islam, sangat terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahir pada tahun 22 H dan wafat 110 H. [17]
Beliau pernah disusui oleh Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan pernah didoakan kebaikan oleh Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu agar diberi pemahaman dalam ilmu agama dan dicintai manusia. [18]
Imam Muhammad bin Sa’ad memuji beliau dengan mengatakan, “Beliau adalah seseorang yang berilmu (tinggi), menghimpun (berbagai macam ilmu), tinggi (kedudukannya), sangat terpercaya, sandaran dalam periwayatan hadits, dan ahli ibadah.” [19]
Beliau termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [20]
Keempat, Muhammab bin Sirin (Abu Bakr Al-Anshari Al-Bashri)
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, syekhul Islam, sangat wara’ (berhati-hati dalam masalah halal-haram), sangat luas ilmunya lagi sangat terpercaya, dan kokoh dalam meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat pada tahun 110 H. [21]
Imam Abu ‘Awanah Al-Yasykuri berkata, “Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar. Tidaklah seorang pun melihat beliau kecuali orang itu akan mengingat Allah.” [22]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [23]
Kelima, Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab Az-Zuhri Al-Qurasyi Al-Madani
Beliau adalah imam besar dari kalangan tabi’in, penghapal hadits yang utama, yang disepakati kemuliaan dan kecermatan hapalannya. Beliau wafat pada tahun 125 H. [24]
Imam Umar bin Abdil Aziz memuji beliau dengan mengatakan, “Tidak tersisa seorang pun (di zaman ini) yang lebih memahami sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada Az-Zuhri.” [25]
Imam Ayyub As-Sakhtiyani berkata, “Aku belum pernah melihat (seorang pun) yang lebih berilmu daripada beliau.” [26]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun pertama (hijriyah). [27]
Keenam, Yahya bin Ma’in (Abu Zakaria Al-Baghdadi)
Beliau adalah imam besar dari kalangan atba’ut tabi’in (murid para tabi’in), ahli jarh wa ta’dil (penilaian terhadap para perawi hadits dalam bentuk pujian atau celaan) yang ternama, penghapal hadits yang utama, dan guru bagi para ulama ahli hadits. Lahir pada tahun 158 H dan wafat tahun 233 H. [28]
Imam Ahmad bin Hambal memuji beliau, dengan mengatakan, “Yahya bin Ma’in adalah orang yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan (khusus) untuk urusan ini (membela sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), dengan (jalan) beliau menyingkap kedustaan para pendusta dalam hadits (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).” [29]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun kedua (hijriyah). [30]
Ketujuh, Imam An-Nasa’i (Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan)
Beliau adalah imam besar, syekhul Islam, penghapal dan kritikus hadits kenamaan, serta sangat terpercaya dalam meriwayatkannya. Lahir pada tahun 215 H dan wafat tahun 303 H. [31]
Imam Abu Sa’id bin Yunus memuji beliau, dengan mengatakan, “Abu Abdirrahman An-Nasa’i adalah seorang imam (panutan), penghapal hadits, dan sangat terpercaya dalam meriwayatkannya.” [32]
Imam Abul Hasan Ad-Daraquthni berkata, “Abu Abdirrahman An-Nasa’i lebih didahulukan (dalam pemahaman ilmu hadits) dibandingkan semua ulama hadits di zaman beliau.” [33]
Beliau juga termasuk ulama yang dinobatkan sebagai salah seorang ulama pembaharu pada akhir seratus tahun ketiga (hijriyah). [34]
Catatan penting:
1. Banyak imam besar ahlus sunnah yang terkenal dengan ketinggian ilmu dan pemahaman, serta kuat dalam menegakkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi mereka tidak dinobatkan oleh para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di zamannya. Padahal, mereka sangat pantas untuk itu, seperti imam Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan lain-lain. Hal ini disebabkan oleh masa hidup mereka yang tidak bertepatan dengan waktu yang disebutkan dalam hadits di atas, dan ini sama sekali tidak mengurangi tingginya kedudukan dan kemuliaan mereka. [35]
2. Di antara para imam ahlus sunnah yang dinobatkan oleh sejumlah besar ulama Islam sebagai pembaharu dalam Islam di abad ke-12 Hijriyah adalah Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi (wafat 1206 H) [36]. Dalam hal ini, syekh yang mulia, Abdul Aziz bin Baz, berkata, “Di antara para imam (Ahlus sunnah) yang mendapatkan petunjuk (dari Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan da’i yang mengusahakan perbaikan (umat ini) adalah imam yang sangat dalam dan luas ilmunya, pembaharu ajaran Islam yang telah ditinggalkan (manusia) di abad ke-12 Hijriyah, dan penyeru kepada sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman bin Ali At-Tamimi Al-Hambali, semoga Allah memperindah (menerangi) tempat peristirahannya dan memuliakannya di surga sebagai tempat menetapnya.” [37]
3. Demikian pula, yang disebut-sebut para ulama sebagai pembaharu dalam Islam di abad ini, dua imam ahlus sunnah yang ternama: Syekh yang mulia, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dan Syekh yang mulia, Abdul aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah merahmati semua ulama ahlus sunnah yang telah wafat dan menjaga mereka yang masih hidup.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Footnote:
[1] HR. Abu Daud (no. 4291), Al-Hakim (no. 8592), dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul Ausath (no. 6527); dinyatakan shahih oleh Imam Al-Hakim, Al-‘Iraqi, Ibnu Hajar (dinukil dalam kitab ’Aunul Ma’bud: 11/267 dan Syekh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah, no. 599.
[2] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[3] Ibid.
[4] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/264.
[5] Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[6] Lihat kitab Tahdzibul Kamal: 21/432 dan Tadzkiratul Huffazh: 1/118.
[7] Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/119.
[8] Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/119.
[9] Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[10]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[11]Lihat kitab Tahdzibul Kamal: 24/355, Siyaru A’lamin Nubala’: 10/5, dan Tadzkiratul Huffazh: 1/361.
[12]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[13]Dinukil oleh Imam Al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 24/372.
[14]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/260.
[15]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 10/46.
[16]Kitab Taqribut Tahdzib, hlm. 467.
[17]Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/71 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 160.
[18]Dinukil oleh Imam Al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 6/104.
[19]Dinukil oleh Imam Al-Mizzi dalam kitab Tahdzibul Kamal: 6/104.
[20]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[21]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/606, Tadzkiratul Huffazh: 1/77, dan Taqribut Tahdzib, hlm. 160.
[22]Kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 4/610. Dalam sebuah hadits shahih Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wali (kekasih) Allah adalah orang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat kepada Allah.” lihat Ash-Shahihah, no. 1733.
[23]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[24]Lihat kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/108 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 506.
[25]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Tadzkiratul Huffazh: 1/109.
[26]Ibid.
[27]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[28]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 11/71 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 597.
[29]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 11/80.
[30]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[31]Lihat kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 14/125 dan Taqribut Tahdzib, hlm. 80.
[32]Dinukil oleh Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Siyaru A’lamin Nubala’: 14/133.
[33]Ibid: 14/131.
[34]Lihat kitab ’Aunul Ma’bud: 11/266.
[35]Ibid: 11/263.
[36]Lihat kitab ’Aqidatusy Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab As-Salafiyyah: 1/18.
[37]Ibid: 1/19–20.
Post a Comment