Ahlussunnah Bicara “Apakah Allah beristiwaa’ di atas ‘Arsy ?”
Ahlus-Sunnah beriman bahwa Allah berada di atas langit dan ber-istiwaa' (bersemayam) di ‘Arsy-Nya berdasarkan nash Al-Qur’an, As-Sunnah Ash-Shahiihah, dan ijma’. Mereka tidak men-tahrif-kan maknanya dengan makna bathil seperti ”menguasai” (istilaa’).
Dari Ja’far bin ’Abdillah, bahwasannya seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas rahimahullah tentang firman Allah : [الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ] “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5); (yaitu dengan pertanyaan : ) “Bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy ?”. Maka Imam Malik berkata :
“Kaifiyah-nya (bagaimananya) tidak diketahui (di luar akal manusia untuk mengetahuinya), namun istiwaa’ Allah itu tidaklah majhul (= maksudnya : maknanya telah jelas). Mengimaninya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Aku khawatir bahwa dirimu menjadi sesat (atas pertanyaan itu)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’i 2/398; tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].[1]
Diriwayatkan Abu Ishaq Ats-Tsa’labi Al-Mufassir ia berkata : Al-Auza’i pernah ditanya tentang firman Allah : Tsummas-tawaa ‘alal-‘Arsy, ia menjawab : “Dia (Allah) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan bagi diri-Nya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 138 no. 122; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Dari Muhammad bin Ahmad bin Nadlr bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru rahimahullah ia berkata :
“Abu ‘Abdillah Al-A’rabiy [2] adalah tetangga kami. Malam-malamnya adalah malam paling indah. Diceritakan kepada kami bahwa Ibnu Abi Du’ad bertanya kepadanya : "Apakah engkau mengetahui dalam bahasa Arab bahwa makna istawaa (bersemayam) itu adalah istaulaa’ (menguasai) ?”. Maka beliau menjawab : “Aku tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 194 no. 240; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401. Sanad riwayat ini adalah jayyid].
Abdullah bin Mubarak rahimahullah (salah seorang ulama generasi tabi’in mulia lagi masyhur) berkata :
“Kami mengetahui Rabb kami berada di atas tujuh lapis langit, bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh Al-Jahmiyyah bahwasannya Allah ada di sini”. Beliau menunjuk ke arah bumi. [Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 111, 175, dan 307; Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah hal. 67, 162; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wash-Sifat hal. 2/335 – takhrij dinukil melalui perantaraan ‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ’Utsman Isma’il Ash-Shabuniy hal. 40 no. 28, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Sanad riwayat ini adalah hasan].
Abu Muthi’ Al-Balkhi bahwasannya ia bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang mengatakan : ’Aku tidak mengetahui bahwa Rabbku di langit atau di bumi’. Beliau menjawab : “Sungguh dia telah kafir, karena Allah ta’ala telah berfirman : {الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ} “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5); sedang ‘Arsy-Nya berada di atas langit”. Kemudian aku (Abu Muthi’) berkata : ”(Jika dia mengatakan) bahwasannya Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, akan tetapi dia mengatakan tidak tahu apakah ‘Arsy-Nya berada di langit atau di bumi?”. Maka beliau (Abu Hanifah) menjawab : ”Ia telah kafir karena ia telah mengingkari keberadaan Allah di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan keberadaan Allah di langit, maka dia telah kafir” [lihat Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi dengan Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 136 no. 118, Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401; dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy hal. 386-387, tahqiq : Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy, takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth, Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1417].
Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (Ibnu Khuzaimah) rahimahullah berkata :
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan Dia beristiwaa’ (bersemayam) di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir terhadap Rabb-Nya…. [Shahih; lihat Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits hal. 54 oleh Al-Hakim An-Naisabury – Maktabah Al-Misykah : www.almeskhat.net/books].
Al-Baihaqi rahimahullah berkata ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam menetapkan sifat istiwaa’ Allah ta’ala :
”Atsar-atsar yang berasal dari kalangan salaf yang memiliki pengertian seperti ini (yaitu Allah ber-istiwaa’ di atas ’Arsy) banyak jumlahnya. Dan jalan ini menunjukkan kepada madzhab Asy-Syafi’i. Dan begitu pula pendapat Ahmad bin Hanbal, Al-Husain bin Al-Fadhl,…..” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqi 2/308 no. 870, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi; Maktabah As-Suwadiy].
‘Aqidah ini sesuai dengan firman Allah :
”Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Hadiid : 4].
Juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bertanya kepada budak Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallaahu ‘anhu :
“Dimanakah Allah ?”. Ia menjawab : “Allah di atas langit”. Beliau kembali bertanya : “Siapakah aku ?”. Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda : “Bebaskanlah/ medekakanlah dia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah”. [HR. Muslim no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain].
Juga sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain :
“Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi, niscaya kalian akan disayang Dzat yang berada di atas langit (yaitu Allah)” [HR. Abu Dawud no. 4941, Ahmad 2/160, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
“‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul-Kabiir no. 8987. Al-Haitsami berkata : “Rijalnya adalah rijal shahih”].
Penulis: Ust. Abu Jauzaa
Catatan kaki :
[1] Sekaligus ini membuktikan madzhab salaf yang berlaku di era Imam Malik dimana beliau tidak men-ta’wil sifat Allah (yaitu istiwaa’), dan tidak pula men-tafwidl-nya (menyerahkan maknanya kepada Allah).
[2] Seorang pakar bahasa di jamannya (151-231 H).
Dari Ja’far bin ’Abdillah, bahwasannya seseorang pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas rahimahullah tentang firman Allah : [الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ] “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5); (yaitu dengan pertanyaan : ) “Bagaimana istiwa’nya Allah di atas ‘Arsy ?”. Maka Imam Malik berkata :
الكيف غير معقول والاستواء منه غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة، فإني أخاف أن تكون ضالاً
“Kaifiyah-nya (bagaimananya) tidak diketahui (di luar akal manusia untuk mengetahuinya), namun istiwaa’ Allah itu tidaklah majhul (= maksudnya : maknanya telah jelas). Mengimaninya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Aku khawatir bahwa dirimu menjadi sesat (atas pertanyaan itu)” [Syarh Ushuuli I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah oleh Al-Laalika’i 2/398; tahqiq : Ahmad bin Mas’ud bin Hamdan, Cet. 2/1411].[1]
وروى أبو إسحاق الثعلبي المفسر قال سئل الأوزاعي عن قوله تعالى ثم استوى على العرش قال هو على عرشه كما وصف نفسه
Diriwayatkan Abu Ishaq Ats-Tsa’labi Al-Mufassir ia berkata : Al-Auza’i pernah ditanya tentang firman Allah : Tsummas-tawaa ‘alal-‘Arsy, ia menjawab : “Dia (Allah) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang telah Dia sifatkan bagi diri-Nya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 138 no. 122; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401].
Dari Muhammad bin Ahmad bin Nadlr bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru rahimahullah ia berkata :
كان أبو عبد الله الأعرابي جارنا وكان ليلة أحسن ليل وذكر لنا أن ابن أبي دؤاد سأله أتعرف في اللغة استوى بمعنى إستولى فقال لا أعرفه
“Abu ‘Abdillah Al-A’rabiy [2] adalah tetangga kami. Malam-malamnya adalah malam paling indah. Diceritakan kepada kami bahwa Ibnu Abi Du’ad bertanya kepadanya : "Apakah engkau mengetahui dalam bahasa Arab bahwa makna istawaa (bersemayam) itu adalah istaulaa’ (menguasai) ?”. Maka beliau menjawab : “Aku tidak mengetahuinya” [Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw, berserta Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 194 no. 240; Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401. Sanad riwayat ini adalah jayyid].
Abdullah bin Mubarak rahimahullah (salah seorang ulama generasi tabi’in mulia lagi masyhur) berkata :
نعرف ربنا فوق سبع سماوات على العرش إستوى بائنا منه خلقه ولا نقول كما قالت الجهمية أنه ها هنا وأشار إلى الأرض
“Kami mengetahui Rabb kami berada di atas tujuh lapis langit, bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Dan kami tidak mengatakan seperti yang dikatakan oleh Al-Jahmiyyah bahwasannya Allah ada di sini”. Beliau menunjuk ke arah bumi. [Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam As-Sunnah hal. 111, 175, dan 307; Ad-Darimi dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah hal. 67, 162; dan Al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wash-Sifat hal. 2/335 – takhrij dinukil melalui perantaraan ‘Aqidatus-Salaf Ashhaabil-Hadits oleh Abu ’Utsman Isma’il Ash-Shabuniy hal. 40 no. 28, tahqiq dan takhrij : Badr bin ’Abdillah Al-Badr; Maktabah Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 2/1415. Sanad riwayat ini adalah hasan].
عن أبي مطيع البلخي : أنه سأل أبا حنيفة عمن قال : لا أعرف ربي في السماء أم في الأرض ؟ فقال : قد كفر ، لأن الله يقول : الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق سبع سماواته، قلت : فإن قال : إنه على العرش ، ولكن يقول : لا أدري العرش في السماء أم في الأرض ؟ قال : هو كافر، لأنه أنكر أنه في السماء ، فمن أنكر أنه في السماء فقد كفر
Abu Muthi’ Al-Balkhi bahwasannya ia bertanya kepada Abu Hanifah tentang orang yang mengatakan : ’Aku tidak mengetahui bahwa Rabbku di langit atau di bumi’. Beliau menjawab : “Sungguh dia telah kafir, karena Allah ta’ala telah berfirman : {الرّحْمَـَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىَ} “Ar-Rahman (Allah) beristiwaa’ di atas ‘Arsy” (QS. Thaha : 5); sedang ‘Arsy-Nya berada di atas langit”. Kemudian aku (Abu Muthi’) berkata : ”(Jika dia mengatakan) bahwasannya Allah bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, akan tetapi dia mengatakan tidak tahu apakah ‘Arsy-Nya berada di langit atau di bumi?”. Maka beliau (Abu Hanifah) menjawab : ”Ia telah kafir karena ia telah mengingkari keberadaan Allah di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari keberadaan keberadaan Allah di langit, maka dia telah kafir” [lihat Al-‘Ulluw oleh Adz-Dzahabi dengan Mukhtashar-nya oleh Al-Albani hal. 136 no. 118, Al-Maktab Al-Islamy, Cet. 1/1401; dan Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu Abil-’Izz Al-Hanafy hal. 386-387, tahqiq : Dr. ’Abdullah bin ’Abdil-Muhsin At-Turkiy, takhrij : Syu’aib Al-Arna’uth, Muassasah Ar-Risalah, Cet. 9/1417].
Al-Imam Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah (Ibnu Khuzaimah) rahimahullah berkata :
من لم يقر بأن الله تعالى على عرشه قد استوى فوق سبع سماواته فهو كافر بربه
“Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah ta’ala di atas ‘Arsy-Nya dan Dia beristiwaa’ (bersemayam) di atas tujuh langit-Nya, maka ia telah kafir terhadap Rabb-Nya…. [Shahih; lihat Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits hal. 54 oleh Al-Hakim An-Naisabury – Maktabah Al-Misykah : www.almeskhat.net/books].
Al-Baihaqi rahimahullah berkata ketika menjelaskan madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dalam menetapkan sifat istiwaa’ Allah ta’ala :
والاثار عن السلف في مثل هذا كثيرة. وعلى هذه الطريق يدل مذهب الشافعي رضي الله عنه. وإليها ذهب أحمد بن حنبل والحسين بن الفضل البجلي......
”Atsar-atsar yang berasal dari kalangan salaf yang memiliki pengertian seperti ini (yaitu Allah ber-istiwaa’ di atas ’Arsy) banyak jumlahnya. Dan jalan ini menunjukkan kepada madzhab Asy-Syafi’i. Dan begitu pula pendapat Ahmad bin Hanbal, Al-Husain bin Al-Fadhl,…..” [Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Al-Baihaqi 2/308 no. 870, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Hasyidi; Maktabah As-Suwadiy].
‘Aqidah ini sesuai dengan firman Allah :
هُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الأرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Hadiid : 4].
Juga hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, ketika beliau bertanya kepada budak Mu’awiyyah bin Al-Hakam As-Sulami radliyallaahu ‘anhu :
أين الله قالت في السماء قال من أنا قالت أنت رسول الله قال أعتقها فإنها مؤمنة
“Dimanakah Allah ?”. Ia menjawab : “Allah di atas langit”. Beliau kembali bertanya : “Siapakah aku ?”. Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Kemudian beliau bersabda : “Bebaskanlah/ medekakanlah dia, karena sesungguhnya ia seorang mukminah”. [HR. Muslim no. 537, Abu Dawud no. 930, An-Nasai 3/14-16, dan lain-lain].
Juga sabdanya shallallaahu ‘alaihi wasallam yang lain :
الراحمون يرحمهم الرحمن ارحموا أهل الأرض يرحمكم من في السماء
“Orang-orang yang penyayang, mereka itu akan disayangi oleh Ar-Rahman (Allah). Sayangilah penduduk bumi, niscaya kalian akan disayang Dzat yang berada di atas langit (yaitu Allah)” [HR. Abu Dawud no. 4941, Ahmad 2/160, dan yang lainnya; shahih].
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu berkata :
والعرش على الماء والله على العرش يعلم ما أنتم عليه
“‘Arsy itu di atas air dan Allah di atas ‘Arsy. Ia mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jamul-Kabiir no. 8987. Al-Haitsami berkata : “Rijalnya adalah rijal shahih”].
Penulis: Ust. Abu Jauzaa
Catatan kaki :
[1] Sekaligus ini membuktikan madzhab salaf yang berlaku di era Imam Malik dimana beliau tidak men-ta’wil sifat Allah (yaitu istiwaa’), dan tidak pula men-tafwidl-nya (menyerahkan maknanya kepada Allah).
[2] Seorang pakar bahasa di jamannya (151-231 H).
Post a Comment